MURIANETWORK.COM - Empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, akhirnya mendapat sanksi tegas dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Langkah ini diambil menyusul temuan kerusakan lingkungan yang serius di sejumlah pulau kecil yang selama ini menjadi kawasan konservasi penting.
Berbeda dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang terkesan pasif dalam menangani kasus serupa, KLH memilih bersikap tegas, tanpa kompromi.
Situasi ini menyoroti ketimpangan dalam penegakan hukum lingkungan antara dua kementerian yang seharusnya saling mendukung.
Banyak pihak mempertanyakan mengapa ESDM belum bertindak atas pelanggaran yang sama, terutama terhadap tiga perusahaan swasta yang diduga menjadi perusak utama ekosistem Raja Ampat.
KLH, lewat Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), resmi menghentikan aktivitas empat perusahaan tambang nikel yang terbukti melanggar aturan.
Keempat perusahaan tersebut adalah PT Gag Nikel (GN), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).
“Kami tidak akan ragu mencabut izin lingkungan jika terbukti merusak ekosistem yang tak tergantikan,” tegas Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, dalam keterangan resminya, Minggu (8/6/2025).
Penindakan ini merupakan hasil pengawasan langsung di lapangan yang dilakukan KLH pada akhir Mei 2025.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, pelanggaran yang dilakukan perusahaan-perusahaan itu bukan hal sepele.
Ia menegaskan bahwa eksploitasi di wilayah pesisir dan pulau kecil tanpa memperhatikan aspek keberlanjutan merupakan bentuk pengabaian terhadap keadilan lingkungan lintas generasi.
Prinsip kehati-hatian dan kelestarian menjadi dasar utama dalam penindakan yang dilakukan oleh KLH.
Dari hasil pengawasan, ditemukan bahwa PT ASP yang merupakan perusahaan penanaman modal asing asal Tiongkok, menjalankan operasi tambang seluas 746 hektare di Pulau Manuran.
Sayangnya, kegiatan tersebut tidak dilengkapi sistem pengelolaan limbah dan tidak memiliki manajemen lingkungan yang memadai.
Sebagai langkah awal, KLH memasang plang penghentian kegiatan sebagai tanda larangan beroperasi.
Sementara itu, PT GN yang menambang di Pulau Gag dengan konsesi mencapai lebih dari 6.000 hektare, juga berada di bawah sorotan.
Kedua pulau tersebut tergolong dalam kategori pulau kecil yang seharusnya dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam pernyataan resminya, Hanif menyebut bahwa evaluasi atas izin lingkungan dari PT GN dan PT ASP sedang dilakukan.
Jika terbukti menyalahi aturan, izin tersebut akan segera dicabut.
PT MRP sendiri tercatat tidak memiliki dokumen lingkungan ataupun Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) saat melakukan kegiatan eksplorasi di Pulau Batang Pele. Kegiatan mereka pun langsung dihentikan.
Sementara PT KSM diketahui membuka lahan tambang di luar izin yang berlaku, termasuk melanggar batas kawasan PPKH di Pulau Kawe.
Akibatnya, aktivitas mereka menyebabkan sedimentasi di pesisir pantai, merusak ekosistem laut sekitar.
Untuk itu, perusahaan ini dikenakan sanksi administratif dan kemungkinan akan digugat secara perdata atas kerusakan yang ditimbulkan.
Yang menarik, PT KSM, PT ASP, dan PT MRP adalah perusahaan yang belum disentuh oleh Kementerian ESDM, meskipun terbukti melakukan pelanggaran serius.
Hal ini memunculkan dugaan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum lingkungan di level kementerian.
Di sisi lain, KLH justru memperlihatkan konsistensinya dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, yang menyatakan bahwa tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil dapat menyebabkan kerusakan permanen (irreversible).
Putusan itu sekaligus memperkuat dasar hukum untuk mencegah kerusakan lingkungan yang tak bisa diperbaiki, dan menegakkan prinsip keadilan lingkungan bagi generasi masa depan.
Dengan komitmen ini, pemerintah melalui KLH ingin mengirim pesan bahwa tidak akan ada kompromi bagi pelanggaran lingkungan, apalagi di kawasan yang menjadi ikon keanekaragaman hayati dunia seperti Raja Ampat.
Kini publik menanti konsistensi sikap serupa dari kementerian lainnya, termasuk ESDM, agar tidak muncul persepsi tebang pilih dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Sumber: HukamaNews
Artikel Terkait
Pemakzulan Gibran Harus Sepaket Dengan Prabowo? Ini Beda Pandangan Jokowi dan Rocky Gerung!
Pakar Pidana Abdul Fickar Hadjar Sebut Kasus Ijazah Jokowi Belum Berkekuatan Hukum Kuat, Apa Alasannya?
TERUNGKAP Kontrak Karya Tambang Nikel Raja Ampat Diteken Tahun 1998: Mengesampingkan Hukum Lain!
Iwan Kurniawan Lukminto Berpotensi Jadi Tersangka, Kejagung Lakukan Pencekalan Sejak 19 Mei 2025