Hampir setiap Desember, pertanyaan yang sama selalu muncul: bagaimana sebenarnya hukum merayakan tahun baru Masehi dalam Islam? Banyak yang bertanya-tanya, tapi tak semua punya jawaban yang jelas. Padahal, tahun 2026 sudah di depan mata, dan euforia menyambutnya sudah mulai terasa di mana-mana.
Memang, pergantian tahun sudah jadi tradisi global, termasuk di Indonesia. Yang jadi persoalan, seringkali perayaannya lepas kendali. Pesta pora, kembang api meraung, konser hingar-bingar, sampai hal-hal yang menjurus ke kemaksiatan. Nah, di sinilah letak masalahnya bagi umat Islam.
Kalau mau menelusuri asal-usulnya, perayaan tahun baru ternyata punya sejarah panjang. Menurut catatan, perayaan tertua justru bukan di bulan Januari. Sekitar 4.000 tahun silam, bangsa Babilonia kuno malah merayakannya di akhir Maret, saat musim semi tiba. Mereka menyelenggarakan festival Akitu selama sebelas hari, yang erat kaitannya dengan siklus panen dan pengukuhan raja. Bagi mereka, tahun baru adalah simbol alam yang bangkit kembali.
Lalu, bagaimana tanggal 1 Januari bisa menjadi patokan? Ceritanya bergeser ke era Romawi. Awalnya, kalender mereka cuma sepuluh bulan dan dimulai dari Maret. Raja Numa Pompilius kemudian menambahkan Januari dan Februari. Barulah pada 46 SM, Kaisar Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai awal tahun baru lewat Kalender Julian. Tanggal itu dipilih untuk menghormati Janus, dewa bermuka dua yang satu wajahnya menatap masa lalu dan satunya lagi melihat ke depan simbol yang pas untuk sebuah permulaan.
Pertanyaannya tetap mengemuka: bolehkah seorang Muslim ikut serta dalam perayaan ini?
Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi: Dua Sisi Pandang
Soal ini sebenarnya termasuk wilayah khilafiyah, alias para ulama punya pendapat yang berbeda-beda. Ada yang membolehkan dengan catatan, ada juga yang secara tegas mengharamkannya.
Argumen yang membolehkan biasanya berangkat dari sudut pandang sosial dan kebiasaan. Misalnya, perayaan itu dianggap boleh kalau tujuannya untuk silaturahmi, mengingat nikmat Allah atas pergantian waktu, atau mendatangkan manfaat ekonomi. Asalkan, tidak ada kaitannya dengan keyakinan agama lain. Intinya, selama tidak mencampuradukkan akidah, beberapa ulama melihatnya sebagai hal yang bisa ditolerir.
Artikel Terkait
Antrean Panjang di Riyadh: Warga Asing Berebut Beli Alkohol Legal
Rahasia Panjang Umur Okinawa: Makan Hanya 80 Persen Kenyang
Badai Kritik di Medsos Bikin Ayu Aulia Ungkap Depresi Usai Dilantik di Tim Kreatif Bela Negara
Syahrini Pamer Tas Hermès Rp 5,8 Miliar di Paris, Koleksi Langka Ratu Hermès Kembali Hebohkan Netizen