Efeknya berbahaya. Banyak perempuan akhirnya meragukan perasaan mereka sendiri. Sejak kecil mereka diajari untuk 'mengecilkan diri' menahan tangis, meredam amarah, memfilter kata-kata. Hidup dengan keyakinan bahwa menjadi perempuan berarti harus terus-menerus membela dan menjelaskan apa yang dirasakan, seolah-olah itu adalah sebuah kesalahan.
Padahal, coba kita pikirkan. Perasaan itu sendiri adalah sebuah bentuk pengetahuan. Ia adalah alarm yang memberitahu ada yang tidak beres, ada ketidaknyamanan, atau ketidakadilan yang terjadi. Mengabaikan sinyal dari separuh populasi dunia sama saja dengan menutup mata dari separuh realitas yang ada.
Sudah saatnya kita berhenti mengulangi kesalahpahaman yang sama. Caranya bukan dengan memaksa perempuan agar sesuai dengan definisi 'logis' yang sempit itu. Tapi justru dengan memperluas pemahaman kita sendiri tentang apa itu logika. Logika tanpa empati itu apa sih? Hanya kalkulasi yang hampa.
Menghargai perasaan perempuan bukan berarti kita mengiyakan semua emosi tanpa batas. Ini lebih tentang pengakuan bahwa nalar dan perasaan bisa berjalan seiringan. Bahwa keberanian untuk merasa adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberanian untuk berpikir jernih.
Jadi, ketika seorang perempuan berbicara dengan penuh perasaan, dia tidak sedang cari perhatian atau minta dikasihani. Dia sedang menyampaikan pengalamannya. Dan pengalaman, bagaimanapun ia disampaikan, tetaplah sebuah fakta. Fakta yang layak dapat tempat untuk didengar.
Kalau pola pikir usang ini terus kita pelihara, yang akan hilang bukan cuma suara perempuan. Tapi sesuatu yang lebih mendasar: kemanusiaan kita bersama. Karena dunia yang menertawakan perasaan adalah dunia yang, pelan-pelan, sedang kehilangan nuraninya sendiri.
Artikel Terkait
Rachel Vennya Ungkap Sisi Lain Bipolar: Berkah yang Penuh Tantangan
Mimpi Membaca Buku: Isyarat Bawah Sadar atau Alarm untuk Belajar?
Kak, Gimana Ini?: Kerinduan Tersembunyi Anak Perempuan Pertama
Waspada, 5 Zodiak Ini Diprediksi Hadapi Tahun Sulit di 2026