Spanduk bertuliskan "Masyarakat Jogja Nagih Janji" itu bukan sekadar protes biasa. Itu adalah seruan moral, teriakan kekecewaan yang menggugat tanggung jawab kita semua. Kenyataannya memang pahit: tumpukan sampah di depo-depo kota tak kunjung berkurang, mengingatkan kita pada sebuah krisis yang terus berulang.
TPA Piyungan sudah tak sanggup lagi menampung luapan sampah harian. Situasi ini memaksa kita untuk berpikir ulang. Bukan cuma soal sistem pengelolaan limbah yang carut-marut, tapi lebih dalam lagi: tentang cara kita hidup bersama. Sampah itu sebenarnya lebih dari residu konsumsi belaka. Ia adalah jejak nyata dari nilai, perilaku, dan struktur sosial yang kita bangun selama ini.
Di dalam tumpukan plastik dan sisa makanan itu, tersimpan sebuah cermin. Cermin peradaban kita. Bisa memantulkan kebijaksanaan, atau justru dan ini yang lebih sering memperlihatkan kegagalan kolektif kita dalam merawat bumi.
Kegagalan Kolektif
Krisis di Yogyakarta ini jelas mencerminkan kegagalan bersama. Gagal membangun tata kehidupan yang punya kesadaran ekologis dan sekaligus berkeadaban sosial. Sistemnya terlalu bergantung pada satu titik: TPA Piyungan. Tanpa ada ekosistem pemilahan dan pengolahan yang merata di tingkat kota, fondasi pengelolaan yang berkelanjutan jadi rapuh sekali.
Nah, di sisi lain, sampah juga bercerita tentang nilai-nilai yang kita anut. Kita punya prinsip "tepo seliro", kan? Kesadaran bahwa tindakan kita punya dampak buat orang lain. Gotong royong juga kita junjung tinggi sebagai semangat kolektif. Sayangnya, dalam praktik harian mengelola sampah, nilai-nilai luhur itu sering kalah. Kalah oleh gaya hidup konsumtif dan mentalitas praktis "buang lalu lupa" yang sudah mendarah daging.
Tanggungjawab Bersama
Filsuf Driyarkara pernah bilang, manusia itu makhluk yang "menjadi". Selalu dalam proses pembentukan diri. Nah, cara kita memperlakukan sampah sebenarnya bagian dari proses itu. Ini bukan cuma urusan kebersihan lingkungan, tapi soal pembentukan karakter kita sebagai masyarakat. Pertanyaannya, lewat krisis ini, kita sedang dibentuk menjadi masyarakat seperti apa? Yang bertanggung jawab, atau justru yang kehilangan arah di tengah gemerlap modernitas?
Mengatasi masalah ini jelas tak bisa cuma andalkan pendekatan teknis. Perlu langkah-langkah yang lebih mendasar. Desentralisasi pengelolaan sampah harus jadi prioritas. Setiap kelurahan, setiap komunitas, perlu didorong punya unit pengolahan mandiri. Misalnya dengan komposter, bank sampah, atau TPS 3R.
Program pemilahan sampah organik dari Pemkot patut diapresiasi sebagai langkah awal. Tapi, menurut sejumlah pengamat, keberhasilannya sangat bergantung pada perubahan perilaku warga. Butuh edukasi yang konsisten, bukan sekadar seremonial.
Artikel Terkait
Gas Subsidi Disedot Pakai Alat Suntik, Polisi Ungkap Modus Berbahaya di Ibu Kota
Jokowi Beri Maaf Pribadi, Tapi Proses Hukum Terus Berjalan
Senyum Pejuang Kecil: Saat Anak-Anak Penderita Kanker Menjadi Karyawan Alfamart
Bogor Batalkan Konvoi dan Kembang Api, Solidaritas untuk Korban Bencana