Menurutnya, kinerja laba yang solid di 2025 itulah yang membenarkan pasar bullish sepanjang tahun. “Kami tidak melihat adanya retakan besar yang mengindikasikan resesi akan datang. Kami optimistis pasar tenaga kerja akan membaik dan tren bullish ini masih memiliki peluang berlanjut pada 2026,” imbuhnya.
Di sisi lain, ada perdebatan yang mengemuka dari risalah rapat terakhir The Fed tahun ini. Mayoritas anggota memang sepakat untuk memangkas suku bunga, namun perbedaan pandangan soal risiko ekonomi AS ternyata cukup tajam di antara para pembuat kebijakan.
“Risalah The Fed semakin menegaskan bahwa ada dua kubu terkait arah kebijakan ke depan, dan perbedaan ini kemungkinan akan semakin melebar,” ujar Detrick.
Dia berpendapat, inflasi yang masih sedikit panas seharusnya tidak menghalangi The Fed untuk mulai memotong suku bunga. Tujuannya, untuk menopang pasar tenaga kerja yang diperkirakan akan melemah di 2026.
Sementara itu, dari sisi geopolitik, upaya perdamaian antara Rusia dan Ukraina kembali menemui jalan berliku. Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan bahwa posisi negosiasi Moskow akan mengeras. Peringatan ini muncul menyusul tuduhan bahwa Kyiv menyerang kompleks kediamannya di Roshchino.
Klaim tersebut langsung dibantah oleh Ukraina. Pihak Kyiv justru menuding Kremlin merekayasa insiden itu sebagai upaya untuk menghambat proses perdamaian yang sedang berjalan.
Artikel Terkait
OJK Perketat Pengawasan, Rekening Dana Syariah Indonesia Dibekukan
Konglomerasi Cetak Rekor, IHSG Melesat 22% di 2025
Geliat 15 Bendungan Baru: Dari Way Apu yang Hampir Rampung hingga Riam Kiwa yang Baru Dimulai
CUAN Rebut 20% Saham SINI, Sinyal Akuisisi Bertahap Dimulai