“Dengan pengelolaan biaya yang optimal, perseroan masih memiliki ruang untuk melakukan improvisasi ketika bisnis batubara atau perekonomian global sedang tertekan,” katanya.
Nah, yang menarik adalah pandangan mereka tentang isu transisi energi. Di tengah gencarnya kampanye hijau dan dekarbonisasi global, ALII justru melihat batu bara masih punya peran strategis. Terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Data dari Kementerian ESDM pun seolah mendukung: sekitar 60-70 persen pembangkit listrik nasional masih bergantung pada batu bara. Fenomena serupa terlihat di raksasa seperti China dan India, di mana PLTU masih jadi andalan.
“Dalam pandangan manajemen, dalam 20 tahun ke depan batubara masih akan menjadi komoditas yang menarik dan menjanjikan di Indonesia,” tegas Rahul.
Dia bahkan melihat ada pergeseran sikap global. Tekanan terkait dekarbonisasi dinilai mulai lebih realistis. Beberapa kebijakan terbaru, misalnya penangguhan proyek pembangkit listrik tenaga angin di AS, dianggapnya sebagai cermin perubahan pendekatan.
“Melihat dinamika tersebut, kami menilai tekanan persyaratan energi hijau tidak lagi sebesar sebelumnya,” ujar Rahul.
“Ke depan akan ada pendekatan yang lebih pragmatis, khususnya di negara-negara berkembang.”
Artikel Terkait
Efisiensi Bawa Angin Segar, Laba Kotor Merdeka Battery Melonjak 22%
Laba Industri China Terjun Bebas, Deflasi dan Permintaan Lemah Jadi Beban Ganda
Tongkang Raksasa ALII Terseok, Volume Angkut Anjlok Lebih dari 50%
Di Balik Liburan, Kereta Petani dan Pedagang Tetap Jadi Nadi Ekonomi Rakyat