Repatriasi seharusnya jadi hak paling dasar bagi pelaut. Hak untuk pulang. Setelah kontrak selesai, saat sakit, atau ketika kapal tak lagi berlayar. Tapi di lapangan, ceritanya seringkali lain. Hak itu berubah jadi perjalanan panjang yang melelahkan: tertunda, dipersulit, bahkan diabaikan sama sekali. Di balik janji perlindungan tenaga kerja, pulang ke rumah malah jadi bahan tawar-menawar, bukan jaminan yang pasti.
Padahal, aturannya sudah jelas. Maritime Labour Convention 2006 (MLC 2006) menegaskan repatriasi adalah kewajiban mutlak perusahaan dan negara. Indonesia sendiri sudah meratifikasinya lewat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2016. Namun begitu, seperti banyak hal di dunia pelayaran kita, yang tertulis di kertas belum tentu terwujud di kenyataan.
Regulasi 2.5 konvensi itu menyebut dengan gamblang. Pelaut berhak dipulangkan tanpa biaya sepeserpun dalam sejumlah kondisi: kontrak berakhir, sakit atau cedera, kapal karam, perusahaan bangkrut, atau jika kondisi kerja sudah tidak aman. Siapa yang harus menanggung? Sepenuhnya tanggung jawab pemilik kapal. Bukan pelaut, bukan agen, apalagi keluarga yang ditinggalkan.
Lebih dari itu, konvensi juga mewajibkan adanya jaminan finansial. Tujuannya sederhana: agar pelaut tetap bisa pulang meski perusahaannya kolaps. Prinsipnya kuat tidak boleh ada seorang pun pelaut yang terdampar hanya karena bisnis sedang bermasalah.
Tapi prinsip itu kerap kandas. Di Indonesia, kisah pelaut yang terkatung-katung di luar negeri, atau terperangkap di kapal yang sudah tak beroperasi, bukanlah cerita baru. Penundaan terjadi dengan beragam alasan. Mulai dari ‘nunggu pengganti’, ‘tunggu jadwal kapal’, sampai alasan klasik: ‘nanti dulu, lagi diproses kantor pusat’. Bahkan tak jarang, pelaut dihadapkan pada pilihan pahit: menanggung sebagian biaya sendiri atau terus menunggu tanpa kepastian.
Ada juga yang dipaksa bertahan di kapal meski kontraknya sudah habis. Yang lebih miris, sebagian dipulangkan dengan syarat harus tandatangan surat pelepasan hak termasuk hak atas gaji yang masih tertunggak. Repatriasi, yang seharusnya jadi hak, berubah jadi alat tekanan.
Situasi ini cermin dari relasi kerja yang masih sangat timpang. Posisi pelaut lemah, sementara kendali logistik dan administrasi sepenuhnya di tangan perusahaan.
Memang, MLC 2006 mewajibkan sistem jaminan keuangan, seperti asuransi. Tapi di tingkat nasional, pengawasannya masih sangat longgar. Tidak semua kapal yang berlayar benar-benar punya jaminan yang aktif dan memadai. Kalaupun ada, banyak pelaut yang tak tahu cara mengklaimnya.
Akibatnya, ketika perusahaan bangkrut, prosesnya jadi berbelit dan lama. Negara seringkali terlambat turun tangan. Pelaut pun terjebak dalam situasi absurd: haknya diakui secara hukum, tapi sangat sulit untuk direalisasikan.
Artikel Terkait
Emas Tembus Rekor, Saham Tambang di BEI Ikut Melonjak
Indonesia-AS Sepakat, Prabowo dan Trump Bakal Teken Perjanjian Dagang Januari 2026
Perjanjian Dagang Indonesia-AS Ditargetkan Tuntas Pertengahan Januari 2026
IHSG Hangat Jelang Natal, Asing Borong Rp6 Triliun