Kalau melihat grafiknya, tahun ini memang bukan tahun yang bagus untuk dolar AS. Mata uang itu anjlok hampir 10 persen, catatan terburuk dalam delapan tahun terakhir. Tapi, di balik suramnya performa itu, ada tanda-tanda stabilisasi. Nah, yang menarik justru ramalan banyak pelaku pasar: pelemahan ini kemungkinan besar akan berlanjut di 2026.
Penyebabnya? Beberapa faktor. Ekspektasi pemotongan suku bunga oleh The Fed masih menggantung. Selisih suku bunga AS dengan negara lain semakin menipis. Belum lagi kekhawatiran soal defisit fiskal dan situasi politik dalam negeri yang masih berpotensi bikin dag-dig-dug.
"Faktanya, dolar AS masih terlalu mahal dari sudut pandang fundamental," kata Karl Schamotta, kepala strategi pasar di Corpay.
Pernyataan Schamotta itu dilontarkan Senin lalu, dan cukup menggambarkan sentimen pasar. Menentukan arah dolar jadi hal krusial bagi investor, mengingat perannya yang sentral dalam sistem keuangan global. Di sisi lain, dolar yang lebih lemah sebenarnya punya efek samping positif: ia bisa mendongkrak laba perusahaan multinasional AS karena nilai pendapatan luar negeri mereka jadi lebih besar saat dikonversi kembali.
Memang, dalam beberapa bulan terakhir dolar sempat bernapas lega dengan penguatan hampir 2 persen sejak September. Tapi, jangan terkecoh. Survei Reuters akhir November menunjukkan, para ahli strategi valas umumnya tetap mempertahankan proyeksi dolar yang lebih lemah untuk tahun depan.
Data dari Bank for International Settlements (BIS) pun menguatkan pandangan itu. Nilai tukar riil dolar pada Oktober masih berada di level 108,7. Angka itu hanya turun sedikit dari rekor tertingginya di Januari lalu, yang berarti dolar masih dianggap overvalued.
Lalu, apa yang akan mendorong pelemahan berkelanjutan? Konvergensi pertumbuhan global. Keunggulan pertumbuhan AS diperkirakan bakal menyusut karena negara-negara besar lain mulai bangkit.
"Saya pikir yang berbeda kali ini adalah negara-negara lain di dunia akan tumbuh lebih cepat tahun depan," ujar Anujeet Sareen dari Brandywine Global.
Stimulus fiskal Jerman, dukungan kebijakan dari China, serta prospek yang membaik di zona euro semua itu diyakini akan mengurangi premi pertumbuhan AS yang selama ini jadi penyangga utama dolar. Intinya, ketika ekonomi lain membaik, dolar cenderung melemah.
Artikel Terkait
Wall Street Berjaya, Dipacu Optimisme Suku Bunga dan Euforia AI
Aris Santosa Tinggalkan Waskita Beton, Pindah ke Pelni
Hartadinata Abadi Siap Sambut Era Baru Emas, Meski Harga Tembus Rp2,37 Juta per Gram
Mekaar PNM: Ketika Ibu Rumah Tangga Tak Lagi Berjuang Sendiri