Menurut Yusuf, justru konsistensi itulah kunci utamanya.
Dibandingkan robot impor yang harganya selangit dan sistemnya rumit, NeuroAid sengaja dirancang lebih sederhana dan kontekstual dengan kebutuhan lokal. Ini bukan cuma soal teknologi, tapi tentang memahami situasi di sekitarnya.
Ke depan, mimpi kelima pelajar ini besar. Mereka berharap NeuroAid bisa benar-benar dipakai di sekolah-sekolah inklusif maupun rumah sakit di Surabaya. Dan niat baik itu mendapat angin segar dari Dinas Pendidikan setempat.
Pada akhirnya, NeuroAid lebih dari sekadar mesin. Ia adalah bukti nyata bahwa empati dan ilmu pengetahuan, ketika disatukan, bisa melahirkan harapan. Dari sebuah ruang kelas di Surabaya, pesan itu bergaung kuat: bahwa kontribusi berarti bagi masyarakat yang lebih inklusif bisa dimulai dari usia yang sangat muda.
Artikel Terkait
iPhone Lipat Apple Diklaim Lebih Ramping, Siap Rilis 2026?
Rusia Pacu Ambisi Bulan dengan Pembangkit Nuklir pada 2036
Kanker Mengintai Semua Usia, Negara Miskin Paling Terancam
Sistem Pensiun Bayar Langsung: Tradisi Terhormat yang Mulai Ditinggalkan Zaman