Tapi Ogi mengingatkan, euforia tak boleh membuat kewaspadaan kendor.
“Pengelolaan portofolio investasi pada Asuransi dan Dana Pensiun tetap harus mengacu pada ketentuan yang berlaku, dilaksanakan dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian serta memperhatikan profil risiko dan profil liabilitas pada masing-masing produk/program yang dijalankan,”
tegasnya.
Di sisi lain, OJK terus mendorong industri untuk mengoptimalkan strategi alokasi aset. Khusus untuk DPLK, edukasi kepada peserta harus ditingkatkan. Tujuannya, agar pilihan investasi mereka sesuai dengan profil risiko dan liabilitas. Dengan begitu, kinerja investasi bisa lebih optimal dan berkelanjutan.
Ada satu instrumen yang menarik diamati: Surat Berharga Bank Indonesia (SRBI). Per Oktober lalu, penempatan dana pensiun di SRBI tercatat Rp4,09 triliun, atau cuma sekitar 1,06% dari total investasi. Angkanya turun dibanding akhir 2024, seiring berkurangnya penerbitan SRBI di tahun 2025.
Ke depan, SRBI masih punya peluang. Instrumen jangka pendek ini dinilai rendah risiko dengan imbal hasil yang kompetitif. Hanya saja, alokasi investasi ke sana tetap harus disesuaikan dengan prinsip liability driven investment. Semuanya kembali ke profil liabilitas masing-masing dana.
Jadi, prospeknya cerah, tapi jalannya tak akan mulus. Itulah gambaran industri dana pensiun ke depan.
Artikel Terkait
Drama, Duka, dan Skandal: Potret Kelam Dunia Hiburan Indonesia di 2025
31 Rute Transjakarta Berubah, MRT/LRT Diperpanjang untuk Malam Tahun Baru
Tiket Kelas Bisnis Hanya untuk Mencuri, Sindikat Pencuri Pesawat Terbongkar di Singapura
Menag Serukan Refleksi dan Solidaritas di Penghujung Tahun 2025