Istriku telah mempertaruhkan nyawanya lima kali. Lima kali itu ia berhadapan dengan maut, hanya untuk melahirkan anak-anak kami. Ia rela mengorbankan masa mudanya, mengubah tubuhnya, menunda mimpinya, demi merawat keluarga yang kami bangun. Dialah rumah yang selalu terbuka, tempat aku bisa pulang bahkan saat aku bukan versi terbaik diriku sendiri.
Bagaimana mungkin perasaan untuk seseorang seperti itu hanya diukur sampai hitungan tahun? Sungguh tidak masuk akal.
Namun begitu, kerabatku itu malah tertawa kecil. Ekspresinya seperti mendengar cerita dongeng. Rupanya, bagi dia, lelaki sejati tidak bicara seperti itu. Cinta, dalam pandangannya, adalah transaksi. Harus ada untungnya, harus realistis. Ukurannya adalah materi, kemewahan, dan kepuasan fisik yang selalu siap diberikan. Kapan pun, di mana pun.
Aneh, bukan? Katanya lelaki harus dewasa, tapi cara memandang cinta justru dangkal sekali. Kalau hanya soal itu, apa bedanya dengan binatang ternak yang hidupnya cuma untuk makan dan kawin?
Mungkin aku ini naif. Mungkin aku memang gagal menjadi "lelaki" versi dunia yang seperti itu. Tapi aku tak merasa malu.
Kalau mencintai istri dengan sepenuh jiwa, menghormati tubuh yang telah mengandung anak-anakku, menjaga seseorang yang pernah mempertaruhkan segalanya kalau itu dianggap kekanak-kanakan, maka biarlah.
Aku lebih memilih menjadi anak kecil yang tulus, daripada lelaki dewasa yang bangga dengan jiwa yang kosong. Cinta yang seperti beringin tak butuh pengakuan orang, tak ikut-ikutan tren, dan tak punya tanggal kadaluarsa. Ia hanya memerlukan satu hal: kesetiaan.
Dan kesetiaan itu, ternyata, jauh lebih gagah dibanding semua definisi "kejantanan" duniawi yang penuh dengan pameran.
Artikel Terkait
Kereta Setan hingga Klub Eksklusif: Kisah Motor yang Mengubah Jalanan Hindia Belanda
PVJ: Museum Kesenjangan dan Ritual Mingguan Kaum Numpang
Kredit Bank Mandiri Melesat 13%, Dividen Rp9,3 Triliun Siap Dibagikan
Klaim 6.000 Tewas: Laporan Mencekam dari Garis Depan Kamboja-Thailand