Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD, bukan lagi rakyat, kembali berhembus. Kali ini, dorongannya terasa lebih kuat. Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, secara terbuka mengusulkan perubahan sistem Pilkada itu. Ia menyampaikannya di acara puncak HUT ke-61 partainya, dengan Presiden Prabowo Subianto hadir di tempat.
Sebenarnya, usulan serupa sudah dilontarkan setahun lalu. Alasan yang dikemukakan pun nyaris sama: biaya Pilkada langsung dinilai terlalu mahal. Mahalnya biaya ini, kata mereka, menutup jalan bagi calon-calon berkualitas yang tak punya kantong tebal.
Memang, soal biaya Pilkada yang membengkak adalah persoalan nyata. Tapi, kita kerap terjebak menyederhanakannya. Padahal, ada dua jenis "biaya" yang berbeda dan tak boleh disamakan begitu saja.
Yang pertama, biaya penyelenggaraan. Ini adalah uang negara dan daerah untuk memastikan tahapan pemilu berjalan dengan jujur, adil, dan bisa diikuti semua pihak. Lalu yang kedua, adalah ongkos politik yang harus ditanggung sendiri oleh para kandidat. Mulai dari biaya pencalonan, survei, hingga mobilisasi massa. Dua hal ini sumber dan solusinya jelas beda.
Nah, yang jadi masalah adalah ketika ongkos politik kandidat yang mahal itu dijadikan alasan untuk mencabut hak pilih rakyat. Logikanya terasa terbalik. Seolah-olah masalah demokrasi bisa diselesaikan dengan mengurangi peran rakyat. Menurut sejumlah pengamat, itu jelas penyederhanaan yang berbahaya.
Pengalaman selama ini justru menunjukkan, mahalnya ongkos politik itu bukan semata-mata karena sistem langsung. Akar utamanya adalah praktik politik transaksional yang tak kunjung dibenahi. Alih-alih fokus ke sana, perdebatan malah terjebak pada pilihan "langsung atau tidak langsung". Padahal, pertanyaan yang lebih penting adalah: benarkah perubahan ini untuk memperkuat demokrasi, atau sekadar menormalisasi kemunduran dengan dalih efisiensi?
Prasyarat Demokrasi
Inti demokrasi sebenarnya sederhana: kedaulatan ada di tangan rakyat. Dari prinsip dasar ini, muncul dua jenis kekuasaan yang kerap tumpang tindih. Pertama, kuasa atau daulat itu sendiri, yang cuma dimiliki rakyat. Kedua, otoritas untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Dalam negara modern, mustahil rakyat mengurus semua hal langsung. Makanya, lahirlah demokrasi perwakilan. Rakyat tetap pegang kedaulatan, tapi otoritas pemerintahan diserahkan ke wakil yang mereka pilih lewat pemilu. Ini bentuk mandat, bukan pengalihan kepemilikan. Dan mandat itu bisa ditarik kembali di pemilu berikutnya.
Di sinilah pemilu punya peran sentral. Ia bukan cuma prosedur teknis belaka, tapi mekanisme konstitusional yang memastikan otoritas pemerintah bersumber dari rakyat. Karena rakyatlah pemilik daulat, maka hanya merekalah yang berhak memberi mandat. Wakil rakyat tidak pernah diberi wewenang untuk memberi mandat lagi atas nama rakyat.
Memang, dalam sistem parlementer, wakil rakyat bisa memilih perdana menteri. Tapi itu beda konteks. Di sana, kepala pemerintahan berasal dari kalangan wakil rakyat yang sudah dapat mandat langsung dari pemilih lebih dulu. Bukan pemberian mandat baru.
Filsuf Joseph A. Schumpeter bahkan mendefinisikan demokrasi secara minimalis: ia adalah metode kelembagaan untuk menghasilkan keputusan politik lewat kompetisi merebut suara rakyat. Dengan definisi ini, pemilu adalah syarat mutlak sebuah sistem politik disebut demokratis.
Karena itu, memindahkan pemilihan kepala daerah dari rakyat ke DPRD bukan cuma mengubah mekanisme. Yang dipangkas adalah prasyarat demokrasi itu sendiri. Mandat eksekutif jadi tidak lagi bersumber langsung dari pemilik kedaulatan. Persoalannya pun bergeser, bukan lagi soal efisiensi semata, tapi apakah prinsip dasar demokrasi masih kita hormati.
Membedah Soal Biaya yang Sering Dicampuradukkan
Kalau alasannya cuma biaya, ya mari kita bedah. Soal anggaran Pilkada ini punya dua wajah yang harus dipisahkan: biaya penyelenggaraan negara dan ongkos politik kandidat. Sumber masalahnya beda, penanganannya pun harus beda.
Artikel Terkait
Wagub Rano Karno Buka Suara Soal Penolakan UMP DKI Rp5,73 Juta
Libur Panjang Akhir Tahun, Pekerja Boleh Kantor dari Mana Saja
Jakarta Light Festival 2025: Kota Tua dan Bundaran HI Bersinar, Pariwisata Digenjot
Serpihan Kapal Pinisi Ditemukan, Pelatih Valencia dan Tiga Anaknya Masih Hilang