Perdamaian Aceh itu mahal. Ia tak datang tiba-tiba, tapi lahir dari proses panjang yang sarat pengorbanan ribuan nyawa dan air mata selama puluhan tahun konflik. Itu sebabnya, melihat simbol-simbol lama konflik bermunculan lagi, kita harus waspada. Pikiran harus jernih, tanggung jawab penuh.
Dua dekade sudah sejak MoU Helsinki diteken. Tapi belakangan ini, ada fenomena yang bikin kita tak boleh lagi bersikap naif. Ada ironi pahit di sini. Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, alih-alih menyatukan, justru dimanfaatkan untuk kepentingan yang sempit. Momentum duka ini dieksploitasi segelintir pihak, seolah ingin menghidupkan kembali narasi perlawanan dan jadi panggung manuver politik.
Ambil contoh pengibaran bendera Bulan Bintang yang tiba-tiba jadi demonstratif. Ini bukan sekadar ekspresi budaya atau bicara soal kebebasan berpendapat. Simbol ini punya muatan ideologis yang kuat; ia membawa memori kolektif tentang separatisme bersenjata. Membiarkannya berkibar di ruang publik sama saja membuka ruang ambigu. Dan itu berbahaya bagi komitmen damai yang sudah susah payah dibangun.
Simbol, Kedaulatan, dan Celah Bencana
Dalam kajian konflik, pengibaran simbol separatis sering kali jadi penanda. Ia upaya membangun "otoritas bayangan" di tengah masyarakat, sebuah isyarat adanya separatisme laten. Mereka bergerilya lewat simbol untuk menandingi legitimasi negara, meski tak lagi angkat senjata secara terbuka. Negara tak boleh terjebak pada logika permisif yang keliru dalam melihat hal ini.
Secara hukum, respons negara harus jelas. Berpijak pada prinsip kedaulatan yang tak bisa ditawar. UUD 1945 menempatkan NKRI sebagai bentuk final, menutup celah bagi aspirasi pemisahan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 juga memberi koridor tegas: simbol negara tak boleh disandingkan dengan simbol yang menegasikan eksistensi negara itu sendiri.
MoU Helsinki pun harus dibaca utuh, jangan setengah-setengah. Kesepakatan damai itu tak pernah memberi ruang bagi simbol separatis hidup sebagai entitas politik tandingan. Justru sebaliknya, ia menegaskan penyelesaian konflik secara bermartabat dalam bingkai NKRI.
Nah, konteks ini makin sensitif saat dikaitkan dengan bencana. Dalam studi keamanan, situasi seperti ini disebut window of vulnerability. Saat bencana melanda, perhatian aparat terpecah, infrastruktur lumpuh. Terciptalah kekosongan kekuasaan sementara di level mikro. Celah inilah yang kerap dimanfaatkan kelompok oportunis untuk masuk dan menanamkan pengaruh.
Di saat yang sama, kondisi psikologis publik sedang rapuh. Rasa kehilangan, lapar, frustrasi semua itu mudah dimanipulasi. Provokator bisa membakar amarah dengan narasi yang menihilkan peran negara, seolah-olah pemerintah dan TNI-Polri absen atau gagal menangani korban.
Kita perlu belajar dari sejarah. Lihat Sri Lanka pasca-Tsunami 2004. Kegagalan mengelola bantuan dan narasi bencana di sana malah memicu konflik baru yang berdarah. Aceh harus dijauhkan dari skenario buruk semacam itu. Politisasi bencana harus ditutup celahnya sejak dini.
Paradoks Aktor dan Jebakan Viktimisasi
Membaca Aceh hari ini butuh kejelian. Peta aktornya tidak tunggal, tapi terfragmentasi. Ada "GAM Politik" yang sudah terintegrasi dalam pemerintahan, dan ada "GAM Jalanan" atau kelompok sempalan yang beraksi liar. Ini menunjukkan dinamika internal yang kompleks di tubuh mantan kombatan.
Artikel Terkait
Rekor Baru Arus Mudik: 57 Ribu Kendaraan Serbu Tol Cikampek di Hari Natal
Dari Joki ke Supeltas: Kapolda Tinjau Langsung Transformasi di Jalur Puncak
Kemenag Angkat Tema Keluarga sebagai Tulang Punggung di Natal 2025
Joki Tikus Puncak Beralih Peran Jadi Pengatur Lalu Lintas