Bayangkan, praktik berbahaya ini ternyata sudah berjalan sekitar satu setengah tahun. Pelaku membeli tabung 3 kg dengan harga murah, Rp 18-20 ribu per tabung. Lalu isinya disedot dan dipindahkan. Hasilnya dijual sebagai gas non-subsidi, tentu dengan margin keuntungan yang menggiurkan.
"Modalnya cuma Rp 80 ribu untuk isi ulang tabung 12 kg. Tapi dijualnya bisa Rp 130 ribu sampai Rp 200 ribu. Jadi untungnya bisa lebih dari Rp 50 ribu per tabung," papar Edi merinci skema keuntungan mereka.
Polisi akhirnya menetapkan tiga orang sebagai tersangka, berinisial PBS, SH, dan JH. Bukti yang disita pun cukup banyak: 503 tabung LPG berbagai ukuran, puluhan alat suntik, plus dua unit kendaraan yang dipakai untuk mendistribusikan barang haram itu.
Nah, soal pasal yang menjerat, memang panjang dan berbelit. Mereka dijerat dengan Pasal 40 angka 9 UU No. 6 Tahun 2023, yang merupakan perubahan dari UU Cipta Kerja, terkait ketentuan dalam UU Minyak dan Gas Bumi. Ditambah lagi dengan pasal pengancam di KUHP. Sanksinya jelas tak main-main.
Kasus ini membuka mata. Di balik harga murah dan keuntungan cepat, tersimpan ancaman ledakan yang bisa merenggut nyawa kapan saja. Polisi mengklaim terus memburu jaringan serupa, tapi yang jelas, kewaspadaan masyarakat tetap yang utama.
Artikel Terkait
Ribuan Truk Dialihkan, PJR Kerahkan Penyekatan Ketat di Tol Ibu Kota
Modus Gas Oplosan: Untung Ratusan Ribu dari Tabung Bersubsidi
Banjir Bandang Sumut: Saat Alam Mengingatkan Kembali Kearifan Tano Ni Ompung
Jakarta Lumpuh: Kemacetan Ekstrem Menjelang Libur Panjang Natal 2026