Proporsional Terbuka: Ketika Isi Tas Mengalahkan Isi Pikiran

- Selasa, 23 Desember 2025 | 10:30 WIB
Proporsional Terbuka: Ketika Isi Tas Mengalahkan Isi Pikiran

Perdebatan panjang soal sistem pemilu di Indonesia sepertinya tak pernah usai. Proporsional tertutup atau terbuka? Padahal, kalau kita tilik sejarah, kedua sistem ini sudah pernah kita coba semua. Ambil contoh, pemilu 1955 dulu pakai sistem proporsional dengan hitungan BPPD. Lalu, era Orde Baru dari 1971 sampai 1999 beralih ke proporsional tertutup murni, di mana rakyat cuma milih partai.

Nah, perubahan besar terjadi pasca reformasi. Tahun 2004, kita mulai coba proporsional terbuka, meski dengan syarat ketat: calon harus capai BPP. Baru kemudian, mulai 2009 hingga sekarang, sistemnya benar-benar terbuka dengan suara terbanyak. Jadi, perjalanannya cukup berliku.

Tulisan ini bukan untuk membanding-bandingkan mana sistem yang lebih unggul. Bukan itu tujuannya. Yang lebih menarik untuk dikulik adalah, seberapa feasibel sih sistem proporsional terbuka kita saat ini menghadapi tantangan kontestasi yang makin kompleks? Itu pertanyaan besarnya.

Lalu, timbul pertanyaan kritis: setelah lima kali pemilu pakai sistem ini (2004-2024), apakah kualitas kontestasi legislatif kita benar-benar membaik? Menurut saya, ada dua masalah mendasar yang justru mengemuka dan jadi tantangan serius dari sistem proporsional terbuka.

Hilangnya Politik Gagasan

Manuel Castells pernah bilang, kunci menang pertarungan politik adalah memenangi pertarungan di tingkat gagasan. Cita-cita luhur demokrasi, kan, seharusnya begitu. Tapi realitanya? Jauh panggang dari api.

Sistem proporsional terbuka rupanya mengubah perilaku politikus kita. Mereka lebih mengandalkan isi tas ketimbang isi pikiran. Burhanudin Muhtadi pernah mengamati, sistem ini mendorong politik elektoral yang bertumpu pada kandidat dan suara personal.

Dibanding sistem tertutup, proporsional terbuka memberi insentif lebih besar untuk praktik politik uang.

Pada akhirnya, dalam kontestasi sekarang, gagasan seakan bukan faktor penentu kemenangan. Yang menentukan justru "isi tas". Para politisi seolah dipaksa keadaan. Mereka mungkin benci politik uang, tapi merasa tak punya pilihan lain. Arena pertarungannya memang sudah sedemikian rupa.

Yang lebih miris, keyakinan "no money no winning" ini bukan cuma dipegang politisi. Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan juga percaya hal yang sama. Pemahaman seperti ini jelas membahayakan masa depan demokrasi kita. Politik uang harus dilawan mati-matian agar politik gagasan bisa tumbuh kembali.

Menggerus Eksistensi Partai Politik

Fungsi dasar partai politik kan sebagai penghubung negara dan masyarakat. Ia satu-satunya organisasi yang bisa masuk langsung ke jantung kekuasaan. Partai dan demokrasi itu ibarat dua sisi mata uang.

Namun, proporsional terbuka menghadirkan tantangan unik. Partai politik pelan-pelan kehilangan dominasinya. Gelanggang politik kini dipenuhi pertarungan antar caleg, bukan lagi perdebatan ideologis antar partai untuk membangun bangsa.


Halaman:

Komentar