Ironisnya, struktur fiskal kita justru ikut mendorong kerusakan itu. Penerimaan negara dari sektor kehutanan masih didominasi oleh pendapatan dari eksploitasi, seperti penggunaan kawasan hutan untuk tambang dan sawit. Sekitar 43% PNBP kehutanan berasal dari sini. Negara dapat pemasukan jangka pendek, tapi bayarnya mahal: bencana, infrastruktur rusak, dan korban jiwa.
Hasil pemeriksaan BPK punya gambaran yang lebih suram. Jutaan hektare perkebunan dan pertambangan beroperasi di kawasan hutan tanpa izin, bahkan di hutan lindung dan konservasi. Ada sawit ilegal seluas 2,91 juta hektare, pertambangan tanpa izin 841 ribu hektare lebih, dan berbagai pelanggaran lain yang luasnya mencapai jutaan hektare. Lemahnya pengawasan ini bukan cuma soal administratif. Ini cermin dari kompromi politik antara kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
Di sisi lain, anggaran kebencanaan kita masih sangat reaktif. Dana BNPB lebih banyak habis untuk tanggap darurat setelah bencana, bukan untuk mitigasi dan kesiapsiagaan.
Padahal, Presiden Prabowo Subianto sendiri berulang kali menegaskan bahwa mencegah bencana itu jauh lebih murah daripada menanganinya.
Sayangnya, pernyataan itu belum benar-benar jadi pedoman dalam kebijakan anggaran.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Jika APBN 2026 mau jadi titik balik, setidaknya ada empat agenda mendesak. Pertama, geser belanja negara ke arah mitigasi iklim dan perlindungan ekologis rehabilitasi DAS, restorasi hutan, dan perkuat kesiapsiagaan. Kedua, audit investigatif terhadap PNBP sektor kehutanan dan SDA di seluruh Indonesia, termasuk Sumatera. Ketiga, reformulasi PNBP kehutanan agar nilai ekologis hutan dihargai, bukan cuma nilai komoditasnya. Keempat, perkuat skema transfer fiskal ekologis sebagai insentif nyata bagi daerah yang mampu menjaga hutannya.
Pada akhirnya, bencana di Sumatera adalah alarm keras. Fiskal kita tidak sejalan dengan ancaman iklim. Selama APBN masih memihak eksploitasi dan mengabaikan perlindungan lingkungan, bencana akan terus berulang. Negara akan selalu datang terlambat, dan publik hanya disuguhi narasi usang: cuaca ekstrem, faktor alam, takdir. Padahal, yang sebenarnya kita hadapi adalah kegagalan kebijakan dan ketiadaan keberanian politik untuk mengubah arah pembangunan ini.
Akhmad Misbakhul Hasan.
Sekjen FITRA.
Artikel Terkait
Tito Resmikan Huntap Sibolga, Wujudkan Perintah Presiden untuk Pemulihan Korban Bencana
Langit Merah di Pandeglang Hebohkan Warga, BMKG: Cuma Fenomena Biasa
Arus Mudik Natal di Tol Cipali Landai, Volume Kendaraannya Turun 17 Persen
Bupati Bekasi Tersangka Suap, Wakil Bupati Diangkat Jadi Plt