Whoosh Tidak Boleh Pakai APBN: Analisis Wacana PSO untuk Kereta Cepat
Presiden Prabowo menyatakan kesiapan untuk bertanggung jawab atas utang Kereta Cepat Whoosh, yang kemudian memunculkan wacana penutupannya melalui Public Service Obligation (PSO) atau Kewajiban Pelayanan Publik. Meskipun memiliki niat baik, pernyataan ini mengandung kekeliruan fundamental dalam tata kelola fiskal dan melanggar kerangka regulasi PSO yang berlaku.
PSO Bukan Mekanisme Bailout Utang
Public Service Obligation (PSO) merupakan kompensasi negara kepada BUMN atas penugasan layanan publik dengan tarif yang ditetapkan di bawah biaya produksi untuk menjamin keterjangkauan masyarakat. Instrumen ini bukanlah alat untuk menalangi corporate debt atau utang perusahaan, apalagi untuk proyek berstatus B2B (Business to Business) yang melibatkan kepemilikan asing. Dalam hal ini, kepemilikan KCIC terdiri dari 60% untuk pihak Indonesia dan 40% untuk pihak China.
Prinsip Fiskal dan Supremasi Hukum
Negara berdiri di atas aturan dan neraca yang sehat, bukan hanya janji. Meskipun seorang pemimpin dapat menunjukkan empati dan komitmen, prinsip fiskal dan supremasi hukum tidak boleh dikorbankan untuk menyelamatkan proyek yang sejak awal dirancang tanpa risiko APBN. Pernyataan "saya akan bertanggung jawab" tidak serta-merta mengubah utang B2B menjadi kewajiban negara.
Artikel Terkait
Kejagung Serahkan Rp 6,6 Triliun ke Kas Negara, Begini Cara Mengamankan Uang Sebanyak Itu
Malam Khidmat di Katedral, Ribuan Umat Padati Misa Natal
DDII Jabar Tegaskan Sikap: Imbau Umat Islam Hindari Ucapan dan Atribut Natal
Setahun Memimpin, Prabowo Tegaskan Kunci Pemerintahan Efektif Ada di Meritokrasi