Misteri Kereta Cepat Whoosh: Proyek Prestisius atau Beban Utang Berbahaya yang Dirahasiakan?

- Rabu, 29 Oktober 2025 | 06:25 WIB
Misteri Kereta Cepat Whoosh: Proyek Prestisius atau Beban Utang Berbahaya yang Dirahasiakan?

Whoosh: Jejak Kontroversi Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Era Jokowi

Oleh: Edy Mulyadi
Wartawan Senior

Presiden Jokowi kembali memberikan pernyataan mengejutkan mengenai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh yang terbukti menjadi beban finansial baru bagi negara. Dengan santai ia menyatakan bahwa transportasi massal merupakan layanan publik yang tidak berorientasi pada pencarian laba.

Pernyataan ini berusaha mencitrakan Whoosh sebagai proyek untuk kepentingan rakyat. Padahal fakta sejarah mencatat, proyek ini awalnya diklaim sebagai kemitraan bisnis murni tanpa melibatkan APBN atau uang rakyat. Ketika mengalami kerugian dan terancam gagal bayar, narasinya tiba-tiba bergeser menjadi investasi sosial.

Klaim Pengurangan Kemacetan yang Dipertanyakan

Alasan pembangunan Whoosh untuk mengatasi kemacetan Jakarta-Bandung patut dipertanyakan. Data transportasi menunjukkan kemacetan Jakarta terutama disebabkan mobilitas harian pekerja dengan jarak tempuh sekitar 40 km dari wilayah penyangga seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor.

Kemacetan tidak disebabkan pergerakan orang Bandung yang menempuh 142 km setiap hari ke Jakarta. Klaim Whoosh sebagai solusi kemacetan dinilai sebagai analisis yang keliru dan berpotensi menyesatkan publik.

Proyek Mercusuar dan Debt-Driven Capitalism

Whoosh menjadi contoh nyata debt-driven capitalism, pola pembangunan yang mengandalkan pembiayaan utang. Proyek ini telah menelan pinjaman tambahan hampir Rp7 triliun dari China Development Bank untuk menutup pembengkakan biaya.

Padahal janji awal proyek ini tidak akan membebani APBN. Ketika negara akhirnya menanggung kerugian, hal ini bukan sekadar kegagalan manajerial tetapi juga menyentuh aspek pelanggaran prinsip keuangan negara.

Masalah Keterjangkauan dan Okupansi

Klaim Whoosh sebagai transportasi massal yang disubsidi bertolak belakang dengan kenyataan. Harga tiket berkisar Rp150.000 hingga Rp600.000 membuat layanan ini tidak terjangkau masyarakat menengah ke bawah.


Halaman:

Komentar