Strategi Menghadapi Israel dengan Diplomasi, Bukan Emosi
Tuduhan "antek Zionis" terus dilemparkan karena al-Sharaa memilih tidak membalas serangan Israel dengan emosi. Istana kepresidenannya pernah diserang, tapi ia tidak gegabah. Sebagian menyebutnya pengecut - padahal itulah perbedaan antara pemimpin yang berpikir dengan hati dan yang berpikir dengan kepala negara.
Al-Sharaa memahami bahwa jika Suriah terpancing untuk membuka front perang dengan Israel dalam kondisi yang rapuh saat ini, maka negeri itu akan kembali hancur. Justru itulah yang diinginkan musuh - agar Suriah tak pernah pulih dan kuat.
Jalur Diplomasi untuk Masa Depan Suriah
Karena itu, ia menempuh jalur diplomasi, meminta dunia internasional untuk ikut menekan Israel dan memulai perundingan yang dimediasi oleh pihak-pihak berpengaruh, termasuk Amerika Serikat. Dari pertemuan itu lahir kesepakatan awal soal keamanan perbatasan yang berlandaskan perjanjian 1976.
Bagi mereka yang memahami politik, apa yang dilakukan al-Sharaa adalah seni menjaga keseimbangan, bukan tunduk kepada kekuatan asing. Yang dilakukan al-Sharaa justru adalah bentuk keteguhan seorang negarawan yang sedang berusaha menyelamatkan masa depan bangsa yang ia pimpin.
Artikel Terkait
Relawan Tempuh Perjalanan Lima Jam ke Riau Demi BBM untuk Korban Bencana Tapsel
Arab Saudi Gelontorkan Rp204 Miliar untuk Pusat Bahasa Arab di Banda Aceh
Di Tengah Banjir dan Longsor, Pemilik Minimarket di Sibolga Bikin Warganet Terharu
Presiden Prabowo Blusukan ke Pengungsian Padang Pariaman, Tegaskan Bantuan Tak Boleh Tersendat