PANAS! Dualisme Reformasi Polri: Antara Tim Sigit dan Tim Prabowo

- Kamis, 25 September 2025 | 14:45 WIB
PANAS! Dualisme Reformasi Polri: Antara Tim Sigit dan Tim Prabowo


PANAS! 'Dualisme' Reformasi Polri: Antara Tim Sigit dan Tim Prabowo


Reformasi Kepolisian kembali menjadi sorotan publik setelah Presiden Prabowo Subianto membentuk Komite Reformasi Polri yang melibatkan sejumlah tokoh, termasuk Mahfud MD


Langkah ini muncul di tengah upaya Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang lebih dahulu menggulirkan Tim Transformasi Reformasi Polri


Kehadiran dua arus reformasi ini menimbulkan kesan adanya dualisme agenda perubahan, yang berpotensi menimbulkan tarik-menarik kepentingan di tubuh Polri.


Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menilai Mahfud MD merupakan figur kredibel untuk berada di Komite Reformasi Polri. 


Menurutnya, pengalaman Mahfud sebagai Menko Polhukam menjadikan ia memahami kompleksitas Polri. 


Mahfud sendiri telah menyatakan kesediaannya membantu, seraya menegaskan bahwa problem utama Polri bukan lagi pada struktur maupun aturan, tetapi pada budaya (kultur) aparatnya.


Dua Agenda, Satu Institusi


Tim bentukan Kapolri dan Komite bentukan Presiden sesungguhnya memiliki titik temu dalam hal mendorong perubahan. 


Namun, secara politik, dualisme ini bisa dibaca sebagai cerminan dua kepentingan besar:


Tim Sigit: Representasi dari internal Polri, yang mencoba mereformasi dirinya dari dalam. 


Namun, langkah ini rawan dipandang sebagai “self healing” yang cenderung defensif.


Tim Prabowo: Simbol intervensi eksekutif sekaligus upaya membangun legitimasi politik Prabowo sebagai presiden baru. 


Dengan melibatkan figur seperti Mahfud, Prabowo seakan ingin menunjukkan bahwa reformasi Polri bukan sekadar wacana internal, melainkan agenda nasional.


Dualisme ini bisa menjadi dinamis jika berjalan paralel, tetapi juga bisa menimbulkan resistensi jika dianggap sebagai upaya saling mengerdilkan.


Tekanan Publik dan Masalah Kultural


Mahfud menekankan bahwa aturan hukum dan instrumen Polri sudah cukup baik, hanya saja implementasinya rusak oleh budaya buruk. 


Citra polisi yang sering diasosiasikan dengan pemerasan, backing kriminal, hingga praktik jual beli jabatan telah lama merusak legitimasi institusi ini.


Dalam konteks inilah tekanan publik menjadi sangat kuat. 


Reformasi Polri tidak bisa lagi berhenti pada seminar atau pembentukan tim, melainkan harus menghasilkan perubahan konkret pada level pelayanan dan integritas aparat di lapangan. Tanpa itu, reformasi hanya akan menjadi kosmetik.


Kebutuhan Polri ke Depan


Ke depan, Polri dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih besar:


1. Digitalisasi Kejahatan – dari cybercrime, hoaks, hingga kejahatan finansial digital.


2. Polarisasi Politik – Polri harus netral dan tidak boleh menjadi alat kekuasaan.


3. Krisis Kepercayaan Publik – pemulihan legitimasi Polri tidak bisa ditawar, sebab kepercayaan publik adalah fondasi bagi otoritas mereka.


Dalam hal ini, reformasi kultural sebagaimana ditekankan Mahfud menjadi sangat mendesak. 


Tanpa meritokrasi, regenerasi Polri hanya akan menghasilkan pejabat yang dipilih karena kedekatan atau uang, bukan karena kapasitas.


Menjembatani Dualisme


Pertanyaan pentingnya adalah: apakah Tim Sigit dan Tim Prabowo akan berjalan beriringan, atau justru bersaing dalam merebut pengaruh? 


Jika keduanya tidak dikonsolidasikan, maka Polri hanya akan menjadi objek tarik-menarik politik. 


Tetapi jika dualisme ini dijembatani dengan koordinasi, publik bisa berharap adanya reformasi substantif yang menyentuh akar masalah.


Penutup


Reformasi Polri adalah kebutuhan bangsa, bukan proyek politik. 


Kehadiran Mahfud MD memberi sinyal keseriusan, tetapi tetap ada keraguan publik apakah ini hanya akan berakhir sebagai “tim demi tim” tanpa hasil nyata. 


Pada akhirnya, keberhasilan reformasi ditentukan oleh satu hal: apakah Polri berani mengubah dirinya, bukan hanya di atas kertas, melainkan di mata rakyat yang setiap hari berhadapan dengan mereka.


Sumber: FusilatNews

Komentar