Cerita Ahmad Yani Sempat Datang Sampaikan Kabar dan Pesan Khusus Pascaperistiwa G30 S PKI

- Senin, 22 September 2025 | 20:15 WIB
Cerita Ahmad Yani Sempat Datang Sampaikan Kabar dan Pesan Khusus Pascaperistiwa G30 S PKI


Putri Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Amelia Ahmad Yani, menceritakan keluarganya mendapat kepastian bahwa Panglima Angkatan Darat ini telah gugur.

Amelia dalam siniar YKCB dikutip pada Senin, 22 September 2025, menuturkan, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) PKI, semua keluarganya mengungsi di sebuah rumah di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan (Jaksel).

"Itu adaya di Pasar Minggu karena banyak pohon rambutan. Jadi kami di sana itu ceritanya mengungsi," ujarnya.

Adapun rumah di Jalan Lembang Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat yang ditempati kala sang ayah diculik pasukan Cakrabirawa, dijadikan semacam Poskomando (Posko) untuk koordinasi dengan Kostrad.

"Nah, tanggal 3 [Oktober] itu, Ibu [Yayu Rulia Sutowiryo] saya kan sudah enggak bangun-bangun, dia di kamar saja. Kita enggak pakai listrik waktu itu," ucapnya.

Sekitar pukul enam sore, Yayu keluar kamar dan tiba-tiba meminta agar diberikan kebaya hitam. Permintaan tersebut mengundang tanyak anak-anaknya.

"Lah Ibu kenapa kok minta kebaya, buat apa," kata Amelia mengingat permintaan sang bunda.

Tiba-tiba, mulut sang bunda menyampaikan ucapan yang sangat menyedihkan sekaligus mengundang tanya karena belum ada orang yang menyampaikan kabar tentang kondisi pasti Jenderal Ahmad Yani usai diculik.

"Bapak mu wis ora ono, ibu saya bilang gitu. Kok tahu gitu ya. Kita itu masih eggak tahu kalau Bapak itu sudah gugur, enggak tahu," ujarnya.

Amelia menyampaikan, meskipun pada peristiwa pagi buta 1 Oktober 1965 itu melihat tubuh ayahnya diseret para penculik, namun masih yakin dia masih hidup.

"Katanya sih dirawat di rumah sakit, di mana saya juga enggak tahu. Ceritanya pengawal kan begitu," katanya.

Mulut Yayu kemudian berucap bahwa Ahmad Yani pada petang itu barusan datang dan menyampaikan pesan khusus.

"Barusan Bapak itu datang, ibu saya bilang, jaga anak-anak," ucap Amel menirukan ucapan sang bunda.

Rupa-rupayanya, lanjut Amel, magrib itu, Lubang Buaya yang menjadi tempat pengumpulan para jenderal Angkatan Darat (AD) yang diculik, disiksa, kemudian dihabisi lalu dimasukkan ke sumur dan ditutup, sudah ditemukan.

"Itu [sumur] lagi digali kan sama penggali-penggali [untuk evakuasi jenazah]," ucapnya.

Setelah Ahamd Yani diculik, pengawal atau ajudannya, di antaranya Mayor CPM Subardi melakukan pencarian hingga sampai di daerah Lubang Buaya.

Om Baldi, demikian keluarga Ahmad Yani biasa memanggil ajudan tersebut, sempat mencari lokasi tempat penguburan para jenderal.

"Dicari sama Om Baldi yang nusuk-nusuk [tanah] gitu sama pak Kitman, menemukan yang bisa blus [jeblos]. Karena itu sudah rata, jadi enggak mungkin tahu kalau ada sumur," ucapnya.

"Nah, setelah ketemu itu [lokasi sumur], itu yang gaibnya ngasih tahu bahwa dia sudah enggak ada, sudah pergi gitu. Terus pesan sama ibu saya, jagak anak-anak. [Kami] nangis aja waktu itu. Ibu saya bilang, udah jangan nangis terus," ungkapnya.

Keesokan harinya, 4 Oktober 1965, Om Bardi baru datang ke rumah sekitar pukul 4 sore. Kondisinya tampak kusut, kelelahan, dan lusuh.

"Uh matanya merah, keringat sudah enggak karu-karuan, bajunya kotor sekali, sepatu botnya penuh lumpur," ungkapnya.

Amelia yang kala itu berusia 15 tahun, menuturkan, pihak keluarga menanyakan perkembangan kepada Om Bardi.

"Pertanyaannya cuman satu, sudah ketemu Bapak, Om? Sudah katanya," katanya.

Bardi kemudian melaporkan kondisi Jenderal Ahmad Yani kepada Yayu di dalam kamar. Setelah itu, baru anak-anak Ahamad Yani dipanggil.

Anak-anak Ahamad Yani sontak loncat dari tempat tidur karena ingin segera mengetahui kepastian kondisi sang ayah.

"Tapi Om Bardi saya lihat nunduk kepalanya, nangis. Aduh ini pasti firasat jelek sekali gitu. Ibu akhirnya gini, sekarang Bapak mu sudah benar-benar enggak ada, yang ada hanya Ibu dan kamu semua. Dan kamu harus bisa menerima kenyataan ini," kata Amel.***

Sumber: konteks
Foto: Jenderal Ahmad Yani, korban peristiwa G30S PKI (Dok Arsip Nasional)

Komentar