Lily Yan Ing, Sekretaris Jenderal Asosiasi Ekonomi Internasional (AEI), yang menilai bahwa kesepakatan tarif yang diumumkan awal Juli 2025 justru berpotensi menimbulkan dilema diplomasi dagang bagi Indonesia. Menurutnya, langkah yang diambil Indonesia dalam memberikan perlakuan tarif khusus kepada AS dapat menimbulkan tanda tanya besar dari mitra dagang lainnya. “Negara-negara seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, dan mitra dagang lain bisa saja mempertanyakan mengapa perlakuan khusus ini hanya diberikan kepada Amerika Serikat. Ini bisa menjadi preseden yang sangat buruk bagi posisi tawar Indonesia ke depan” ujar Lily.
Karena itu, Lily menyarankan agar pemerintah Indonesia segera melakukan negosiasi ulang terhadap kesepakatan tarif tersebut, dengan mengedepankan prinsip hukum internasional dan asas saling menghormati antarnegara. Ia menekankan pentingnya menjaga konsistensi dan kredibilitas Indonesia di mata mitra global. Terkait dengan hubungan dagang Indonesia dengan Cina, Lily mengingatkan bahwa negara tersebut juga menghadapi persoalan struktural yang tidak bisa diabaikan. “Pertama adalah isu overcapacity kapasitas produksi berlebih dan kedua adalah subsidi berlebih pada sektor industri” tegasnya.
Untuk itu, Lily mengusulkan agar Indonesia secara aktif mendorong voluntary export restriction atau pembatasan ekspor secara sukarela dari pihak Cina untuk produk-produk yang bersinggungan langsung dengan sektor padat karya Indonesia seperti garmen, alas kaki, dan produk-produk lain berbasis tenaga kerja intensif.
Lebih jauh, ia juga menekankan pentingnya optimalisasi perjanjian-perjanjian regional yang telah dimiliki Indonesia, seperti ASEAN–China Free Trade Agreement (ACFTA) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Menurutnya, pemanfaatan yang maksimal dari perjanjian-perjanjian tersebut dapat memperkuat daya saing Indonesia di tengah ketegangan dagang global. Selain itu, Lily juga menyoroti potensi strategis keanggotaan Indonesia dalam forum ekonomi BRICS. Ia berpendapat bahwa forum ini bisa menjadi instrumen tambahan untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi multilateral yang lebih luas dan seimbang.
Johanes Herijanto, Dosen Magister Ilmu Komunikasi UPH dan Ketua Forum Sinologi Indonesia dalam closing statementnya mengungkapkan sejak kunjungan Presiden Prabowo ke Beijing pada akhir 2024 dan pernyataan bersama yang dirilis bersama Presiden Xi Jinping, banyak pihak baik di dalam negeri maupun internasional berspekulasi bahwa Indonesia akan semakin condong ke arah Cina. Namun, kesepakatan dagang terbaru antara Presiden Prabowo dan mantan Presiden AS, Donald Trump, menunjukkan bahwa Indonesia juga berupaya mempererat hubungan dengan Amerika Serikat, sekaligus menegaskan komitmennya untuk tetap menjaga posisi netral.
“Kesepakatan tersebut membuktikan bahwa Indonesia tidak semata-mata berpihak pada satu kekuatan besar dunia. Sebaliknya, ini mencerminkan strategi aktif Indonesia untuk menjalin hubungan konstruktif dengan semua kekuatan global demi kepentingan nasional” ujar Johanes.
Ia mengutip pandangan ekonom ternama asal Malaysia, Prof. Woo Wing Thye, yang menilai bahwa langkah Indonesia merangkul kekuatan global, termasuk Cina dan AS, adalah strategi cerdas untuk memobilisasi dukungan internasional terhadap agenda pembangunan nasional.
Namun demikian, Johanes mengingatkan agar Indonesia tetap waspada terhadap potensi konsekuensi dari kesepakatan tersebut, khususnya dari pihak Cina. Ia menyebut dua hal penting yang perlu dicermati. Pertama, kemungkinan RRC akan menuntut pelonggaran hambatan perdagangan agar produk-produknya semakin mudah masuk ke pasar Indonesia yang dapat memperbesar dominasi produk Cina di dalam negeri. Kedua, potensi tekanan agar Cina memperoleh lebih banyak ruang dalam proyek-proyek strategis nasional, terutama di sektor infrastruktur.
“Pemerintah perlu berhati-hati dalam mengevaluasi keterlibatan Cina dalam proyek-proyek besar di Indonesia. Kita harus belajar dari pengalaman masa lalu seperti pada proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, yang diwarnai pembengkakan anggaran dan meningkatnya beban utang jangka panjang” tutur Johanes.
Ia menekankan bahwa menjaga keseimbangan hubungan luar negeri tidak hanya soal diplomasi simbolik, tetapi juga menyangkut pengambilan keputusan ekonomi yang berdampak langsung pada masa depan fiskal dan kedaulatan pembangunan nasional.
This email and any files transmitted with it are confidential and intended solely for the use of the individual or entity to whom it is addressed. If you have received this email in error, please contact the sender and delete the email from your system. If you are not the named addressee you should not disseminate, distribute or copy this email.
Email ini dan berkas yang dilampirkan bersamanya adalah rahasia dan hanya dikirim kepada orang-orang atau entitas yang dituju oleh si pengirim email ini. Bila anda menerima email ini karena suatu galat, mohon segera hubungi pengirimnya dan hapus email ini dari sistem anda. Bila anda bukan termasuk orang yang dituju oleh si Pengirim email ini, anda tidak diperkenankan untuk menyebarluaskan, meneruskan atau menyalin isi dari email ini.
Universitas Paramadina - www.paramadina.ac.id
Artikel Terkait
TNI Gagalkan Aksi Begal & Tabrak Lari di Tol, 3 Motor Curian Disita!
Kalah Telak! Anak Buah Prabowo Ungguli Mr J PSI, Ini Faktanya
Densus 88 Turun Tangan di Surabaya, Ini yang Dikejar!
Prabowo Restui Jokowi Diadili? Ini Sinyal Purbaya yang Bikin Geger!