Regulasi tunduk pada pemain besar. Dan pembangunan institusi demokrasi tertunda, karena yang diperlukan bukan sistem meritokrasi, tapi jaringan loyalis yang bisa mengamankan blok eksplorasi.
Kita bisa belajar dari sejarah: di era Orde Baru, Soeharto membagikan ladang minyak kepada kroni dan militer. Dari sinilah tumbuh kekuatan bisnis-politik yang kini masih bertahan, dengan wajah baru.
Di Malaysia, Petronas pernah menjadi ATM partai penguasa UMNO. Transparansi hanya menjadi etalase.
Di Meksiko, selama puluhan tahun, minyak adalah milik negara?"tapi negara hanya milik satu partai.
Negara tidak lagi rasional. Ia menjadi korporasi raksasa dengan dewan direksi yang dipilih bukan oleh rakyat, tapi oleh pemilik modal.
Kita tahu kekayaan alam Indonesia melimpah. Tapi siapa yang menikmatinya? Di Aceh, ladang gas Arun mengalir ke Jakarta, tapi desa sekitar tak punya listrik. Konflik bersenjata ikut lahir dari rasa ketidakadilan itu.
Di Papua, tambang emas dan eksplorasi migas berjalan, tapi kampung-kampung adat hanya menerima debu dan penggusuran.
Di sana, suara rakyat tak pernah diukur dalam desibel, hanya dalam meter kubik minyak yang bisa ditambang.
Inilah luka struktural yang tak kunjung sembuh. Ketika energi tak dibagi secara adil, maka demokrasi tak akan lahir secara utuh.
Kita tak perlu pesimis. Dunia telah menunjukkan jalan lain. Norwegia, negeri penghasil minyak, justru menjadi salah satu negara paling demokratis.
Dana abadi mereka menyimpan ratusan miliar dolar, dikelola secara transparan, dan setiap warga bisa mengakses informasi keuangan negara secara daring.
Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) jadi standar global. Negara yang mau jujur, akan dihormati pasar dan rakyat sekaligus.
Bahkan di Afrika, negara seperti Botswana berhasil mengelola kekayaan tambang secara relatif adil?"bukan karena mereka kaya, tapi karena mereka berani.
Maka pertanyaannya bukan: apakah bisa? Tapi: apakah kita cukup berani?
Indonesia: Di Persimpangan Sumur dan Suara
Indonesia kini bukan lagi negara pengekspor minyak. Kita sudah menjadi importir. Tapi mentalitas elite kita masih seperti pemilik sumur raksasa.
Politik masih didanai oleh bisnis batu bara, kontrak migas, dan rente eksplorasi. Transisi energi dibicarakan, tapi tak sungguh dijalankan, karena para pemilik warisan lama belum rela melepaskan kendali.
Apakah koperasi energi lokal bisa lahir? Apakah rakyat bisa terlibat dalam tata kelola sumber daya? Apakah kita bisa menciptakan demokrasi yang tak lagi tunduk pada harga bensin?
Jalan tengah itu masih belum jelas. Tapi sejarah menanti mereka yang berani menulis bab baru.
Demokrasi bukan hanya pemilu lima tahunan. Ia hidup dari kontrol rakyat atas sumber dayanya. Jika sumur dimiliki rakyat, suara pun tak bisa dibeli.
Tapi jika energi hanya dikuasai oleh elite yang takut kehilangan kuasa, maka demokrasi kita bukan sedang tumbuh?"melainkan dalam koma yang panjang.
Apa yang bisa Indonesia pelajari?
Bahwa kedaulatan energi bukan tentang siapa yang menguasai ladang, tapi siapa yang berani membagi hasilnya secara adil.
Bahwa demokrasi bukan soal harga BBM, tapi siapa yang menentukan anggaran negara: suara, atau rente?
Indonesia wajib membentuk badan independen pengawas energi dengan kewenangan memveto kontrak merugikan.
Juga ia mengalokasikan 30% pendapatan migas langsung ke dana desa terpencil."
Jika kita ingin demokrasi yang sehat, maka energi harus kembali ke tangan rakyat.
“(Energi adalah darah negara. Tapi jika darah itu hanya mengalir ke jantung oligarkhi elite, maka demokrasi kita bukan sedang hidup -melainkan koma.”)
Artikel Terkait
Dana APBD Jabar Rp4,1 T Mengendap? Ini Fakta di Balik Polemik yang Bikin Gubernur Panik Minta Audit BPK
Gerakan RELASI SIDAQ: Tebar 10.000 Mushaf & Siapkan Relawan untuk Palestina, Ini Kisahnya!
Gerakan RELASI SIDAQ: Dari Pedalaman Indonesia Hingga Palestina, Inilah Wajah Baru Relawan Muda Qurani
Chairul Tanjung Turun Tangan, Xpose Trans7 Dihentikan Permanen! Ini yang Terjadi.