Pendidikan dan pekerjaan itu tidaklah identik dengan soal-soal rezeki. Pendidikan harus dilihat dan dimaknai sebagai tanggungjawab dan martabat seseorang di hadapan Tuhan
Sejatinya, pendidikan dan pekerjaan tidak selalu berkolerasi dengan status sosial seseorang. Semua yang bernilai materi baik kekayaan maupun jabatan yang melekat pada diri seseorang tidak selalu linear dengan pendidikannya.
Setidaknya, kaya atau miskin, menjadi elit dan terhormat atau kelas bawah, bahkan orang baik atau jahat sekalipun tidak memiliki keterkaitan yang kuat dan mengikat dengan pendidikan yang dimilikinya.
Mengapa pendidikan tidak ada hubungannya dengan soal rezeki atau kepemilikan harta?. Kenapa juga pendidikan tidak harus menjadi faktor utama dalam menentukan behavior atau perilaku seseorang?
Jawabannya sederhana.
Pertama,
Pendidikan pada substansinya ditujukan untuk membentuk pola pikir seseorang agar bisa memahami kehidupan baik dalam konteks sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi serta nilai-nilai spiritual.
Kedua,
Ada arah dan tolok ukur capaian pendidikan seseorang dalam manifestasi berbagi kemaslahatan dalam tinjauan hubungan antar sesama, dengan semesta alam dan yang puncaknya pada relasi Ilahiah.
Sering dan kerap menjadi habit ketika penyimpangan perilaku bersumber dari kalangan orang-orang terdidik. Bahkan dengan gelar mentereng seperti master, doktor dan profesor menjadi perencana, penggerak dan pelaksana pelbagai tindakan destruktif berupa kebohongan, kejahatan HAM dan lingkungan serta yang fenomenal dan klasik dalam kejahatan korupsi. Terkadang tak luput penistaan terhadap agama, para nabi dan rasul, juga menjadi pembuktian dari kebencian dan fitnah yang sering juga lahir dari perilaku kalangan intelektual.
Tidak sampai ekstrim pada tindakan kejahatan, orang-orang berpendidikan tinggi banyak dijumpai dengan label keangkuhan dan julukan intelektual pelacur.
Terlalu banyak orang yang mengenyam pendidikan tinggi namun dalam keseharian sangat eksklusif, mengumbar pertentangan kelas dan lebih miris lagi ada yang menganut faham anti sosial.
Ditengah disparitas yang mencolok terhadap praktek-praktek kesetaraan pada tiap lapisan masyarakat. Justru kalangan terdidik malah abai pada kesadaran kritis dan kesadaran makna. Menjadikan semua penyimpangan menjadi terbiasa dan serba permisif.
Hasilnya memang sangat memprihatinkan jika tak mau disebut mengerikan. Pengingkaran nilai-nilai kejujuran dan kebenaran terlanjur diyakini dan dijalankan sebagai suatu praktek-praktek kejujuran dan kebenaran. Perilaku menyimpang yang didukung sistem, perlahan namun pasti berhasil membentuk budaya dan membangun tradisi kontradiktif terhadap hakekat kemanusiaan itu sendiri.
Artikel Terkait
Purbaya Bongkar Semua: Tanggung Jawab Saya ke Indonesia, Bukan untuk Mereka!
Iskandar Ketua Nasdem Sumut Ditangkap! Ternyata Ini Identitas yang Tertukar
Kritik Pedas Politikus Demokrat Soal Kereta Cepat: Proyek Prestisius atau Pemborosan?
Roy Suryo Bongkar Dokumen Mengejutkan Soal Riwayat Pendidikan Gibran di Kemendikbud!