Dr. Tan Shot Yen Tantang Program Makanan Bergizi: Solusi atau Cermin Kegagalan?

- Rabu, 31 Desember 2025 | 20:40 WIB
Dr. Tan Shot Yen Tantang Program Makanan Bergizi: Solusi atau Cermin Kegagalan?

Di jagat kesehatan masyarakat Indonesia, nama dr. Tan Shot Yen sudah tak asing lagi. Seorang pakar gizi, penulis, dan intelektual publik yang vokal. Gaya komunikasinya blak-blakan, fokus pada edukasi gaya hidup sehat dengan pendekatan holistik. Intinya, dia selalu mendorong kita kembali ke real food, makanan alami yang jauh dari olahan pabrik.

Belakangan, perhatiannya tertuju pada program Makanan Bergizi (MBG). Pasalnya, Badan Gizi Nasional (BGN) baru-baru ini berpendapat bahwa layanan MBG harus tetap jalan saat libur sekolah. Alasannya? Risiko kekurangan gizi justru bisa naik ketika anak di rumah dan pola makan keluarga kurang terpantau.

Nah, pernyataan ini langsung disorot dr. Tan. Lewat akun Instagramnya, dia melontarkan sederet pertanyaan kritis yang membuat kita berpikir ulang.

Pertama-tama, dia mempertanyakan dasar ilmiahnya. "Pernyataan ini ada studi berbasis bukti?" tanyanya. Rasanya, sebuah program sebesar ini harus punya pijakan data yang kuat, bukan sekadar asumsi.

Lalu, poin kedua yang dia angkat cukup menusuk. Apakah dengan membagikan jajanan ultra-processed food (UPF) yang seringnya manis, asin, dan awet lalu risiko gizi buruk dianggap selesai? Maksudnya, roti berbuluk dan kue kering bergula tinggi itu dianggap solusi? Pertanyaan ini menyentuh esensi dari apa yang seharusnya disebut "makanan bergizi".

Di sisi lain, dr. Tan justru melihat libur sebagai momen ujian sebenarnya. "Bukannya justru libur di rumah, jika MBG berhasil, maka ibu-ibu lebih teredukasi memberi makan anaknya?" argumennya. Jadi, seharusnya program ini membuahkan kemandirian, bukan ketergantungan.

Pertanyaan keempatnya lebih keras lagi, bernada frustrasi. "Apakah sebegitu bodohnya para orang tua mengasuh anak, sehingga negara perlu ambil alih pangan keluarga?" tulisnya. Kalimat itu seperti tamparan, menggugat asumsi bahwa keluarga Indonesia tidak mampu mengatur nutrisi anaknya sendiri.


Halaman:

Komentar