Proses pembuatannya tak mudah. Tanpa listrik karena setrum baru kembali beberapa hari lalu ia mengandalkan tenaga dan keterampilan tangannya sendiri. Memahat, merakit, sedikit demi sedikit. Kini, perahu kecil itu hampir rampung dan siap diangkut ke danau yang letaknya cuma seratus meter di belakang rumahnya.
Namun begitu, kisah Salihin ini bukan cuma soal ketangguhan. Ada polemik yang mengiringinya. Kayu-kayu gelondongan yang terseret banjir ke pemukiman warga di sejumlah wilayah Sumatra memang jadi perdebatan. Di satu sisi, banyak yang beranggapan masyarakat berhak memanfaatkannya dalam situasi darurat bencana seperti ini. Di sisi lain, ada suara yang menyerukan koordinasi dengan pemerintah setempat agar tidak menimbulkan masalah baru.
Pemerintah sendiri akhirnya mengeluarkan aturan teranyar. Disebutkan bahwa kayu hanyut tersebut "dapat dimanfaatkan secara terbatas oleh masyarakat."
Salihin tinggal di Kampung Toweren Owaq. Tiga kampung tetangganya Toweren Antara, Toweren Uken, dan Toweren Toa konon menghadapi persoalan serupa. Bencana merata, tapi cara bertahan hidup setiap orang bisa berbeda. Bagi Salihin, jawabannya mengapung di atas air, terbuat dari kayu yang dibawa oleh musibah itu sendiri.
Artikel Terkait
Prabowo Awali 2026 di Tenda Pengungsi, Serukan Gotong Royong Hadapi Bencana
Dari Tokyo Hingga Dubai: Kemeriahan Malam Pergantian Tahun 2026 di Berbagai Penjuru Dunia
Malam Tahun Baru di Aceh Tamiang Berubah Jadi Malam Waspada Banjir
Tahun Baru Tanpa Kembang Api, Masyarakat Pilih Doa dan Donasi