Kebohongan politik itu jarang datang dalam bentuk yang kasar dan gamblang. Ia lebih sering menyelinap sebagai statistik yang dipilih secara selektif, janji kampanye yang sengaja dibiarkan kabur, atau kebijakan yang diklaim pro-rakyat tapi justru menyengsarakan rakyat kecil. Ketika pola ini terjadi berulang-ulang, kebohongan perlahan tak lagi terasa salah. Ia berubah menjadi norma baru yang diterima begitu saja.
Hatta menolak keras politik yang memanfaatkan rakyat cuma sebagai alat legitimasi. Baginya, rakyat adalah tujuan, bukan sekadar instrumen. Maka, mempermainkan harapan rakyat dengan janji palsu adalah bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita republik yang diperjuangkan dengan susah payah.
Kebijaksanaan politik juga menuntut keberanian untuk tidak populer. Hatta berkali-kali mengambil posisi yang justru tidak menguntungkan dirinya sendiri, semua demi menjaga kesehatan moral bangsa. Ia paham, keputusan yang benar hari ini mungkin tidak disukai banyak orang, namun ia akan dikenang sebagai fondasi keadilan untuk masa depan.
Pemimpin yang bijak, menurut logika ini, tidak akan alergi terhadap kritik. Ia tak menyamakan kritik dengan ancaman, dan tak menganggap oposisi sebagai musuh yang harus dihabisi. Dalam demokrasi yang sehat, kritik sejatinya adalah mekanisme koreksi, bukan gangguan stabilitas.
Jadi, anti-bohong dalam kerangka pikir Hatta bukan cuma urusan etika pribadi semata. Ini adalah tanggung jawab politik yang berdampak luas. Kebohongan yang diucapkan penguasa punya efek berlapis: merusak kebijakan, menyesatkan publik, dan yang paling parah mengajarkan generasi berikut bahwa kebenaran bisa ditawar-tawar.
Bangsa yang besar, kata Hatta, bukan cuma bangsa yang merdeka secara politik. Lebih dari itu, ia harus merdeka secara moral. Kemerdekaan tanpa kejujuran hanyalah pergantian penguasa, bukan pembebasan rakyat yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, ukuran kepemimpinan bukanlah lamanya seseorang berkuasa. Melainkan keutuhan nurani yang dipegang teguh. Tegas dalam prinsip. Santun dalam bersikap. Bijak dalam mengambil keputusan. Dan jujur tanpa syarat.
Itulah warisan politik Mohammad Hatta. Bukan sebagai romantisme sejarah belaka, tapi sebagai standar moral yang seharusnya masih hidup dan diperjuangkan hari ini. Ya, begitulah.
Artikel Terkait
Suara yang Selalu Terselubung: Abu Ubaidah Gugur, Identitas Asli Terungkap
Anak Tertinggal di SPBU, Keluarga Baru Sadar Setelah Tiba di Jakarta
KRL Jabodetabek Siap Layani Penumpang Hingga Larut Malam di Malam Tahun Baru
Warga Morowali Duduki Lahan, Tuntut Hentikan Kegiatan Ilegal Perusahaan