Kejujuran sebagai Etika Kekuasaan: Membaca Politik dari Kacamata Hatta
“Pemimpin yang baik ialah yang tahu batas kekuasaannya.”
Bagi Mohammad Hatta, kekuasaan bukanlah tujuan akhir. Sama sekali bukan. Politik, dalam pandangannya, harus menjadi sarana etis untuk mewujudkan keadilan sosial. Nah, peringatannya soal kejujuran itu bukan sekadar nasihat moral yang klise. Itu adalah fondasi berpikir kenegaraan. Dalam satu kalimat singkat itu, Hatta sebenarnya sedang merumuskan krisis terbesar dalam politik: kebohongan bukan cuma kesalahan, melainkan cacat karakter yang fundamental.
Sebuah bangsa tidak runtuh karena kekurangan orang pintar. Ia ambruk ketika ketidakjujuran dinormalisasi, menjadi bagian dari sistem kekuasaan itu sendiri. Bayangkan, ketika kebohongan dijadikan alat komunikasi politik resmi, negara pada dasarnya sedang mengajari warganya untuk hidup dalam kepalsuan yang dilegalkan. Situasi yang berbahaya, bukan?
Hatta paham betul. Kekuasaan tanpa moral akan selalu berjarak dengan rakyat. Jarak itu lama-lama jadi jurang. Maka, tak heran ia memilih mundur dari jabatan wakil presiden saat prinsipnya tak lagi sejalan dengan praktik kekuasaan yang ada. Di tengah dunia politik yang kerap memuja jabatan, pengunduran diri Hatta adalah pernyataan moral yang radikal. Ia menunjukkan bahwa integritas lebih utama daripada jabatan.
Di sisi lain, ketegasan dalam politik sering disalahartikan. Banyak yang mengira tegas berarti menutup kritik dan bersikap otoriter. Padahal, bagi Hatta, ketegasan justru lahir dari kesadaran akan batas. Pemimpin yang tegas adalah dia yang berani berkata "cukup" pada dirinya sendiri. Menolak godaan untuk memperluas kuasa dengan cara-cara manipulatif. Serta menahan diri untuk tidak mempermainkan hukum hanya demi kepentingan sesaat.
Soal ini, Hatta memberi contoh nyata. Ketegasan tanpa kesantunan, pada akhirnya, hanyalah wajah lain dari kesewenang-wenangan. Kekuatan moral tak selalu butuh suara keras. Hatta sendiri berbicara pelan, tapi pikirannya tajam dan prinsipnya kokoh. Dalam iklim politik kita yang gemar retorika bombastis, keteladanan semacam ini terasa asing, tapi justru sangat relevan.
“Demokrasi tidak akan hidup bila tidak disertai kejujuran.”
Peringatan itu jelas. Demokrasi yang kehilangan kejujuran akan berubah jadi prosedur kosong belaka. Pemilu tetap berlangsung, pidato-pidato tetap berkumandang, tapi keputusan penting sudah ditentukan oleh segelintir elite di balik layar. Rakyat dilibatkan secara formal, namun dikeluarkan secara substansial. Inilah yang disebut demokrasi tanpa etika, sebuah bahaya yang sudah Hatta peringatkan sejak republik ini berdiri.
Artikel Terkait
Dua Tersangka Diciduk Polisi Usai Nenek 80 Tahun Diusir dan Rumahnya Diratakan
Habib Rizieq Serukan Revolusi Akhlak, Sebut Indonesia Darurat Kebohongan
Ijazah Jokowi: Pakar Sosiologi Hukum Soroti Keanehan yang Tak Kunjung Terjawab
Jakarta Bersiap: Hujan dan Rob Ancam Perayaan Malam Tahun Baru 2026