Yang Tak Mencari Panggung: Sebuah Renungan
Aku bicara pada diriku sendiri. Kenapa? Mungkin karena dunia di luar sudah terlalu berisik, terlalu penuh dengan suara yang saling teriak. Semua tentang kesuksesan, kekuasaan, atau kesalehan yang dipajang. Tapi di sini, di ruang batin yang sunyi ini, dusta tak punya tempat. Tuhan tak butuh pengeras suara untuk didengar. Nurani sendiri sudah jadi mimbar yang paling jujur.
Pertanyaan yang mengusik justru sederhana: kok bisa ya, nilai seorang manusia sekarang cuma dilihat dari apa yang tampak? Bukan dari apa yang dia pegang teguh dan pertanggungjawabkan. Lidah begitu lincah menyebut asma Tuhan, tapi tangan entah kenapa masih ringan menyakiti. Ayat-ayat suci bertebaran di panggung politik, diperdagangkan, sementara keadilan malah terlunta-lunta di lorong-lorong gelap kehidupan kita.
Yang bikin ngeri sebenarnya bukan dosa yang kentara. Tapi kebiasaan kita membungkus dosa itu dengan dalih agama. Membenarkan yang salah dengan cap 'suci'. Di situlah awal kehancuran saat manusia tak lagi merasa bersalah, malah merasa paling benar.
Lihatlah kesalehan jaman sekarang. Seringkali ia kehilangan rasa malu. Berjalan gagah dengan simbol-simbol di badan, tapi pincang dalam hal empati. Fasih sekali menghakimi orang lain, tapi begitu gagap ketika diminta untuk sekadar mengasihi.
Pada akhirnya, Tuhan tak pernah kekurangan pembela. Justru kitalah, manusia, yang selalu kekurangan kejujuran. Nama-Nya kerap dipakai untuk mengangkat ego, bukan merendahkan hati. Padahal, pesan semua ajaran suci itu intinya sama: peganglah kebenaran, meski itu harus melawan dirimu sendiri.
Derajat tinggi bukan milik mereka yang teriak paling keras tentang moral. Tapi mereka yang diam-diam menjaga moral itu saat sepi, saat tak ada kamera, tak ada pujian, dan tak ada untungnya sama sekali. Moral sejati itu memang sepi peminat. Sebab ia menuntut pengorbanan, bukan cuma tepuk tangan.
Masyarakat kita sibuk membangun citra. Tapi lalai membangun karakter. Orang berlomba tampak saleh, tapi enggan berlaku adil. Korupsi dibungkus dengan doa bersama. Ketidakjujuran disamarkan dengan retorika yang indah. Penindasan pun bisa tiba-tiba jadi 'sah' hanya dengan tafsir yang dipelintir.
Lalu, di mana Tuhan dalam semua keributan ini?
Jawabannya menusuk: Tuhan tetap di tempat-Nya. Kitalah yang menjauh. Bukan dengan langkah kaki, tapi dengan kompromi-kompromi moral yang kita lakukan berulang kali, setiap hari.
Agama seharusnya jadi cermin untuk introspeksi, bukan topeng untuk bersolek. Fungsinya menelanjangi kesombongan, bukan merapikannya. Tujuannya membebaskan kita dari kerakusan, bukan malah memberi alasan untuk terus serakah.
Namun begitu, kenyataannya sering berbeda. Agama kini jadi alat legitimasi. Legitimasi untuk berkuasa tanpa akhlak. Untuk bicara lantang tentang kebenaran, tapi tanpa niat untuk berlaku adil. Yang lemah disuruh sabar dan bersyukur. Sementara yang kuat bebas menumpuk pelanggaran. Ini bukan kesalehan. Ini pengkhianatan yang tersusun rapi.
Artikel Terkait
Denda Tilang DIY Anjlok Drastis, Polisi Beralih ke Teguran
Aceh dan Ibu Pertiwi: Sebuah Jeritan yang Tak Kunjung Didengar
Tito Karnavian Soroti Tumpang Tindih Data, Usulkan BNPB Jadi Pemegang Kendali
Tumpukan Kayu Gelondongan Bikin Bingung, DPR Desak Pemerintah Beri Kepastian