Malam itu, setelah perut kenyang diracuni 'Ayam Bersyahadat' Bang Anchu, kami malah masuk ke dimensi lain. Bukan tidur yang menunggu, tapi sebuah 'panggilan' ke markas besar. Ini lanjutan dari cerita Natal di Palangka Raya itu, tapi suasana udah beda banget.
Bayangkan, tahun 2011. Zaman yang sekarang kayak jaman baheula, tapi romantis juga sih. Saat dering PING! BBM bikin deg-degan, dan WhatsApp belum jadi algojo yang menghakimi dengan centang birunya.
Instruksinya datang. Bukan ajakan biasa, tapi lebih mirip surat perintah. Saya, bersama Vincen, Bang Anchu, dan Pak Umar seperti rombongan sirkus harus melapor ke tempat Almarhum Topan Nanyan, atau yang kami panggil Bos Top. Rasanya bukan sebagai tamu, tapi lebih kayak mau diperiksa isi kepala.
Pukul sebelas malam pintu terbuka. Di sudut, lampu pohon Natal berkedip-kedip kayak ikut nimbrung. Di atas meja, toples nastar dan asbak penuh puntung rokok udah siap standby. Mereka jadi saksi setia untuk debat yang bakal panjang.
Nah, di tengah kepulan asap dan obrolan yang makin panas, tiba-tiba ada rasa aneh. Hangat. Saya tersadar, di jantung Palangka Raya yang riuh ini, saya nemu keluarga. Jauh dari Pati, Jawa Tengah, kota ini tiba-tiba nggak asing lagi. Bukan cuma tempat cari nafkah, tapi kayak rahim yang melahirkan versi dewasa saya. Lengkap dengan saudara-saudara baru yang siap ribut, tapi juga siap merangkul.
Obrolan malam itu liar banget. Dari tegang membahas konspirasi elit global, Zionis, ancaman Perang Dunia III, eh, tiba-tiba belok ke kasus pencurian celana dalam di jemuran tetangga. Seriusan.
Yang lucu, di hadapan Bos Top, kasus kolor hilang itu dibahas dengan seriusnya minta ampun. Sama hormatnya kayak bahas makar atau jatuhnya kabinet.
“Ini murni Pasal 362 KUHP atau ada unsur klenik yang nggak kejamah hukum positif?” tanya kami sambil mulut penuh kastengel.
Bagi dia, nggak ada istilah isu receh. Kedaulatan negara dan kolor tetangga punya bobot urgensi yang sama. Cuma angle-nya aja yang beda.
Lalu, di antara asap yang makin tebal, tatapannya berubah. Mode santai off. Mode mahaguru on.
“Fit,” tembaknya. Suaranya berat, nembus asap. “Wartawan itu bukan juru ketik. Kalau otakmu kosong, tulisanmu kopong. Itu namanya malpraktik jurnalistik!”
Sentilan itu kayak tamparan. Dia lagi membongkar dosa besar jurnalis daerah: jadi manusia ‘Palugada’ yang cuma nunggu perintah, tapi malas mikir.
Artikel Terkait
Manado Berduka: Lahan Pemakaman Disiapkan untuk 16 Korban Panti Werdha Terbakar
Gempa 3,4 Magnitudo Guncang Pidie Jaya di Tengah Malam
Trump Beri Ultimatum Iran: Kami Akan Menghancurkan Kalian
Netanyahu dan Trump Bahas Gaza dan Iran di Mar-a-Lago, Hamas Tolak Rencana Pelucutan Senjata