Bagi Arief, akar masalahnya jelas. Kemiskinan dan ketertinggalan ini bukanlah takdir, melainkan buah dari sebuah kesalahan sistemik. "Kalau kita sekarang masih melarat," tandasnya tanpa ragu, "berarti salah kelola."
Benarkah Klaim Sang Hakim?
Data terbaru di tahun 2025 seolah mengamini kegelisahan Arief Hidayat. Mari kita lihat angka-angkanya.
Indonesia: Warisan Berupa Beban
Secara hitungan kasar, setiap warga negara termasuk bayi yang baru membuka mata seolah-olah ikut memikul beban utang pemerintah. Ini adalah utang per kapita. Per akhir September 2025, utang pemerintah Indonesia telah menembus angka Rp 9.408,64 triliun. Dengan penduduk sekitar 286,69 juta jiwa, beban itu setara dengan Rp 32 juta untuk setiap orang. Sebuah angka awal yang berat untuk memulai kehidupan.
Norwegia: Tabungan Raksasa untuk Generasi
Lalu bagaimana dengan Norwegia? Negara ini punya cerita yang sama sekali berbeda. Mereka mengelola kekayaan minyak dan gasnya dengan cermat melalui Government Pension Fund Global (GPFG), sebuah dana abadi yang berfungsi seperti tabungan nasional. Hingga kuartal ketiga 2025, nilai dana itu melampaui 20,4 triliun Krone Norwegia, atau sekitar 2 triliun Dolar AS.
Dengan populasi yang hanya sekitar 5,5 juta jiwa, kekayaan itu terhitung sangat besar. Setiap warga Norwegia, secara teoritis, memiliki "saham" senilai lebih dari Rp 5,3 miliar dalam dana tersebut. Dana ini tidak dibagikan tunai, melainkan diinvestasikan untuk membiayai layanan publik dan menjamin kesejahteraan generasi masa depan.
Perbandingan kedua angka itu memang mencengangkan. Dan di situlah letak inti kritik Arief Hidayat: sebuah pertanyaan tentang bagaimana kita mengelola apa yang telah diberikan oleh alam.
Artikel Terkait
Prasetyo Hadi Dukung Larangan Petasan Tahun Baru, Ajak Warga Berempati ke Korban Bencana
Buruh Jakarta Kirim Sinyal Halus: Demo Kecil Hari Ini, Ancaman Besar Esok
Najib Razak Divonis 165 Tahun, Tapi Cuma 15 Tahun yang Harus Dijalani
Mimpi Fajar di Gaza: Laut Menelan Daratan yang Mengambang