Bangsa Luhur dan Kewajiban Negara Menjaga, Mengayomi Rakyat
Kita kerap mendengar bangsa ini disebut luhur. Kata itu bergema di pidato kenegaraan, terpampang di slogan-slogan, dan menjadi narasi wajib dalam pendidikan. Tapi, di mana sebenarnya letak keluhuran itu? Rasanya sulit ditemukan ketika rakyat justru dibiarkan berjuang sendirian menghadapi hidup. Keluhuran sebuah bangsa, pada akhirnya, tak bisa diukur dari retorika yang indah. Ia terlihat dari sejauh mana negara benar-benar hadir untuk menjaga dan mengayomi warganya.
Menurut sejumlah saksi sejarah, sejak awal berdirinya, Indonesia tidak dirancang sebagai negara yang hanya mengejar kekuasaan. Coba baca lagi Pembukaan UUD 1945. Tujuan negara dinyatakan dengan tegas: melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Itu janji dasarnya. Namun dalam kenyataannya, negara lebih sering tampil sebagai pengatur yang kaku, bukan pelindung yang hangat. Rakyat kerap direduksi jadi sekadar angka dalam statistik, bukan kumpulan manusia dengan duka dan harapan yang nyata.
Ir. Soekarno pernah mengingatkan sesuatu yang masih relevan hingga hari ini.
“Kekuasaan tanpa keadilan adalah kezaliman.”
Peringatan itu terasa menusak ketika kita menyaksikan kebijakan publik lahir tanpa empati. Atas nama pembangunan, ruang hidup warga digusur. Demi pertumbuhan ekonomi, buruh dipaksa legawa dengan upah yang sulit hidupi. Dan untuk stabilitas, kritik dibungkam. Jika pola ini terus berlanjut, maka klaim keluhuran bangsa tak lebih dari ironi pahit yang kita ciptakan sendiri.
Di sisi lain, negara yang luhur semestinya berdiri di garda terdepan membela yang lemah. Realitasnya? Ketimpangan justru kian menganga lebar. Akses pendidikan berkualitas masih jadi privilege bagi segelintir orang. Layanan kesehatan kerap bergantung pada tebalnya dompet. Hukum pun terasa begitu tegas menghadapi rakyat kecil, tapi mendadak lunak dan berbelit saat berhadapan dengan pemilik kuasa dan modal. Dalam situasi seperti ini, sulit rasanya mengatakan negara telah menjalankan fungsi pengayomannya dengan baik.
Mohammad Hatta, dengan ketegasannya yang khas, pernah berujar:
“Negara Indonesia tidak akan berarti apa-apa jika tidak dapat memberi keadilan sosial bagi rakyatnya.”
Keadilan sosial itu bukan sekadar hiasan di sila kelima Pancasila. Ia adalah ukuran nyata keberhasilan sebuah negara. Ketika rakyat bekerja keras tapi tetap miskin, ketika hukum tak memberi rasa adil, dan ketika suara mereka diabaikan, yang gagal bukan rakyatnya. Melainkan negaranya.
Artikel Terkait
Jenazah Turis Spanyol Ditemukan di Perairan Labuan Bajo, Tiga Korban Masih Dicari
Muslim Arbi: Perpol 10/2025 adalah Jebakan Konstitusional untuk Prabowo
Bencana Hibrida dan Kegaduhan Pejabat: Saat Negara Hanya Menghadirkan Drama
Cinta Segitiga Berujung Maut, Oknum Polisi Cekik Sahabat Tunangannya