Yang bikin geram, kebutuhan paling mendasar pun dijadikan alat penyiksaan. Pembalut wanita, misalnya, dipakai sebagai cara untuk merendahkan dan menghina. Layanan kesehatan? Jangan harap. Bahkan bagi tahanan dengan penyakit kritis seperti kanker, akses ke dokter terputus sama sekali.
Isolasi Keras untuk Pemimpin dan Wabah yang Merajalela
Sementara itu, di Penjara Ganot dulu dikenal sebagai Nafha dan Ramon para pemimpin gerakan tahanan menjalani isolasi yang sangat ketat. Ambil kasus Ahmad Sa’adat. Dia dikabarkan menderita kudis parah, tapi perawatan medis tak kunjung datang. Saat dipindahkan antar penjara, dia juga kerap mengalami kekerasan fisik hingga tulang belakangnya cedera berat.
Di sisi lain, di Penjara Gilboa dan Shatta, represi justru meningkat setelah pertukaran tahanan terakhir. Penggerebekan hampir terjadi tiap hari, biasanya menjelang fajar. Caranya brutal: pemukulan hebat, senjata kejut, gas air mata di dalam sel tertutup, bahkan peluru karet dan anjing pelacak dikerahkan.
Pelanggaran Hukum Internasional yang Terang-terangan
Dunia internasional mulai menyoroti. Tindakan-tindakan ini sudah tidak bisa lagi disebut sebagai prosedur keamanan biasa. Ini adalah kejahatan perang yang sistematis. Menggunakan gas air mata di ruang tertutup, atau membiarkan wabah penyakit menyebar di penjara, jelas-jelas melanggar Konvensi Jenewa.
Peringatan sudah disampaikan oleh Kementerian Kesehatan dan sejumlah organisasi HAM. Tanpa intervensi global yang konkret, penjara-penjara itu bisa berubah menjadi kuburan massal. Para tahanan saat ini bukan cuma melawan kekerasan fisik, tapi juga kelaparan dan hawa dingin yang bisa merenggut nyawa.
Artikel Terkait
Jenazah Turis Spanyol Ditemukan di Perairan Labuan Bajo, Tiga Korban Masih Dicari
Muslim Arbi: Perpol 10/2025 adalah Jebakan Konstitusional untuk Prabowo
Bencana Hibrida dan Kegaduhan Pejabat: Saat Negara Hanya Menghadirkan Drama
Cinta Segitiga Berujung Maut, Oknum Polisi Cekik Sahabat Tunangannya