Memang, nama Prabowo belakangan terus jadi sorotan. Bukan cuma di dalam negeri, lho. Tatapan dunia internasional juga ikut mengawasi. Ambil contoh penanganan bencana di Aceh dan Sumatera. Prosesnya dinilai lambat, bahkan terkesan kurang empati. Situasi kayak gini makin mengukuhkan kesan bahwa pemerintah sering datang terlambat saat rakyat paling butuh pertolongan.
Namun begitu, respons terhadap gelombang protes justru bikin banyak orang geleng-geleng. Alih-alih didengar, unjuk rasa malah dibubarkan paksa. Aksi represif aparat berujung pada penangkapan aktivis, bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa. Ironis sekali. Negara yang mestinya jadi pelindung, malah berhadap-hadapan dengan rakyatnya sendiri.
Persoalan lain yang juga mencuat adalah soal komunikasi kekuasaan. Banyak yang curiga, keluhan rakyat mungkin nggak pernah sampai ke telinga Presiden. Semua aspirasi seolah tersaring dulu di meja Teddy Indra Wijaya, sang Menteri Sekretaris Negara. Dia dituding jadi "penyaring tunggal" segala kritik. Akibatnya, Prabowo seperti kehilangan "telinga" untuk mendengar jeritan warganya secara langsung.
Pada akhirnya, penampilan Yudhit Ciphardian itu cuma satu dari banyak cermin kegelisahan yang ada. Di balik tawa yang dipaksakan, pesannya jelas: bangsa ini sedang lelah. Beratnya perjalanan Indonesia sekarang bukan cuma karena krisis atau bencana alam, tapi karena kita seakan harus berjuang melawan pemerintah sendiri.
Artikel Terkait
Korban Tewas Bencana Sumatera Tembus 1.140 Jiwa, 163 Orang Masih Hilang
Kadis Sosial Samosir Ditahan, Diduga Korupsi Dana Bantuan Korban Banjir Bandang
Di Balik Sorak Tahun Baru, Mereka Berjaga Melawan Lelah yang Tak Terlihat
Slank Sodorkan Republik Fufufafa, Sindir Politik yang Sakaw Kekuasaan