Analis Peringatkan Prabowo: 2026 Bisa Jadi Medan Pembunuhan Politik

- Sabtu, 27 Desember 2025 | 10:50 WIB
Analis Peringatkan Prabowo: 2026 Bisa Jadi Medan Pembunuhan Politik

Nah, kalau bicara tekanan yang lebih luas, kita masuk ke ring ketiga. Di sini ada para pemilik modal besar, oligarki, jaringan bisnis lintas negara, sampai kelompok kepentingan internasional. Tekanan dari mereka tidak akan berupa demonstrasi di jalan. Lebih canggih dari itu. Mereka main lewat mekanisme ekonomi dan pengendalian opini publik.

“Pengeringan dukungan finansial, manipulasi pasar, perang opini melalui media, hingga tekanan internasional adalah senjata mereka,” jelas Sutoyo.

“Ini killing ground paling sunyi dan paling mematikan.”

Ia bahkan menyebut relasi Indonesia dengan kekuatan global, seperti Cina, bisa mempengaruhi ruang gerak kebijakan nasional jika tak dikelola dengan hati-hati.

Terakhir, ada arena publik. Rakyat, media sosial, oposisi, intelektual, dan aktivis. Sutoyo memperingatkan, sikap defensif atau yang terkesan meremehkan kritik dari ilmuwan dan negarawan justru bisa mempercepat erosi legitimasi. Keangkuhan kekuasaan, katanya, adalah sinyal klasik menuju kejatuhan politik.

“Ketika presiden merasa paling tahu dan paling mampu, di situlah bahaya terbesar,” katanya.

Jika presiden terlihat menjauh dari kepentingan rakyat dan lumpuh menghadapi oligarki, ketidakpuasan publik bisa berubah jadi tekanan politik yang masif.

Dari rangkaian indikator itu, Sutoyo memprediksi 2026 akan menjadi fase paling gawat bagi Prabowo. Kejatuhan tak harus lewat mekanisme formal seperti impeachment. Bisa saja melalui pelumpuhan fungsi kepemimpinan secara perlahan.

“Tanda-tandanya jelas: loyalitas bergeser menjadi ambisi, kedekatan berubah menjadi instrumen kontrol, dan dukungan menjelma tekanan tersembunyi,” ujarnya.

Jalan keluarnya hanya satu: mengembalikan orientasi kekuasaan pada amanat konstitusi dan kepentingan rakyat luas. Kalau tidak, medan pembunuhan politik itu akan bekerja dengan sendirinya. Begitulah peringatan akhir dari Sutoyo Abadi.


Halaman:

Komentar