NgopiPagi: Kejujuran di Pagi Hari
Pagi punya caranya sendiri. Saat kopi masih mengepul dan dunia belum benar-benar berisik, pikiran kita cenderung lebih jernih, lebih jujur. Mungkin karena itulah kutipan Bung Hatta terasa begitu pas di waktu-waktu seperti ini. “Orang bodoh bisa kita didik, tapi orang tidak jujur itu sulit.” Cukup satu kalimat itu untuk membuat kita termenung, menemani cangkir kopi sampai uapnya hilang.
Di sini, kita sering menganggap kata ‘bodoh’ sebagai hinaan yang kejam. Padahal, sebenarnya tidak. Kebodohan itu kondisi yang bisa berubah. Siapa saja bisa belajar, membaca, bertanya. Bung Hatta, sebagai bapak pendidikan, paham betul soal ini. Pendidikan adalah kuncinya. Orang yang tak paham hari ini, bisa jadi mengerti esok. Itu masalah waktu dan kesempatan.
Namun begitu, yang bikin merinding justru soal ketidakjujuran. Masalahnya, sifat yang satu ini nggak kelihatan. Nggak ada di ijazah, nggak bisa diukur pakai angka. Orang yang tidak jujur bisa saja tampak sangat cerdas, bicaranya meyakinkan, bahkan terlihat santun. Tapi di balik semua itu, niatnya bengkok. Inilah yang disebut ‘sulit’ oleh Hatta. Sulit untuk diperbaiki, dan yang lebih parah, sulit untuk dipercaya lagi.
Ketidakjujuran itu bukan cuma soal bohong terang-terangan. Ia lebih dari itu. Ia adalah kebiasaan, pola pikir untuk mengutamakan diri sendiri dengan mengkhianati kebenaran. Dimulai dari hal kecil: contekan, janji yang dilupakan, laporan yang dikit-dikit dibumbui. Lama-lama jadi besar. Dan ironisnya, semakin pintar orangnya, semakin lihai pula dia membungkus dan membela kebohongannya. Kecerdasan tanpa karakter inilah yang berbahaya.
Bung Hatta sendiri bukan cuma ngomong. Beliau hidup dalam kata-katanya. Sebagai wakil presiden, hidupnya sederhana. Menolak kemewahan, menolak korupsi. Di puncak kekuasaan, dia memilih jalan yang lurus. Mungkin karena itu namanya tetap harum dikenang. Kejujuran memang belum tentu bikin kaya, tapi ia bikin hidup terasa lengkap, tenang.
Nah, di pagi yang hening ini, ada baiknya kita introspeksi sebentar. Sebelum menilai dunia, tanya diri sendiri: sejujur apa kita hari ini? Pada pekerjaan, pada teman, pada pasangan, pada diri sendiri. Kita kerap gemar menyalahkan ketidakjujuran di level tinggi politik, korporasi tapi lupa bahwa budaya besar itu dimulai dari kebiasaan kita sehari-hari. Dari pembenaran-pembenaran kecil yang kita ucapkan.
Artikel Terkait
Akar Masalah di Hutan, Simbol Kekecewaan di Jalanan
Kapolda Metro Jaya Sapa Pengunjung dan Bagikan Bantuan di Ragunan yang Ramai
Dosen ASN Diduga Meludahi Kasir Usai Ditegur Serobot Antrean
Kabel Bergelantungan di Trotoar Saharjo, Ancaman Nyata bagi Pejalan Kaki