Masyarakat kita kadang keliru. Mereka menyalahkan kejujuran. Orang jujur dicap naif atau tidak realistis. Sementara yang licik dipuji sebagai pribadi yang cerdas dan pandai bertahan. Memang, dalam jangka pendek, kelicikan bisa memberi hasil. Tapi coba lihat jangka panjangnya. Masyarakat yang fondasi kejujurannya rapuh, lambat laun akan runtuh oleh ketidakpercayaan. Tidak ada peradaban besar yang bisa berdiri tanpa itu.
Harus diakui, bersikap jujur tak selalu menguntungkan. Seringkali malah bikin rugi, atau menuntut pengorbanan. Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Kejujuran mengajarkan bahwa hidup ini bukan cuma soal apa yang kita dapat, tapi lebih pada apa yang kita pertahankan. Mereka yang setia mungkin kalah dalam permainan dunia, tapi menang dalam pertarungan batin.
Di sisi lain, pengkhianatan selalu menjanjikan jalan pintas. Hasil instan, untung besar, tanpa proses yang berliku. Tapi setiap jalan pintas ada harganya. Harganya adalah kepercayaan dari orang lain, dan yang paling menyiksa, dari diri sendiri. Hidup dalam ketakutan terus-menerus, takut kebohongannya terbongkar, itu adalah hukuman yang sunyi.
Sebenarnya, kejujuran tak perlu pembelaan muluk-muluk. Ia cuma perlu dihidupi. Lewat keberanian berkata benar meski berisiko. Lewat kesediaan mengakui kesalahan. Dan lewat konsistensi antara ucapan dan perbuatan. Selama masih ada yang memilih jalan ini, kejujuran akan terus menyala. Gelapnya dunia di luar tak akan memadamkannya.
Jadi, pertanyaan besarnya bukanlah apakah kejujuran masih ada di dunia. Tapi, apakah kita masih mau memilihnya? Kejujuran tak menuntut kesempurnaan. Ia hanya minta kesetiaan. Setia pada kebenaran, pada nurani, dan pada diri sendiri. Seseorang bisa saja sukses menipu semua orang, tapi saat ia berkhianat, yang pertama kali ia khianati adalah jiwanya sendiri.
Maka klaim dalam judul ini benar adanya. Kejujuran tak pernah padam, kecuali pada mereka yang berkhianat. Ia tetap hidup, menunggu untuk dipilih kembali. Dan setiap kali ada yang memilih untuk jujur di tengah godaan dan tekanan di situlah ia menyala-nyala, membuktikan bahwa ia tak pernah benar-benar pergi. Tabik. (ED/jaksat-tom)
Artikel Terkait
Ledakan di Masjid Homs Guncang Ibadah Jumat, 8 Jemaah Tewas
Misteri 22 Luka Tusukan di Rumah Mewah Politisi Cilegon
Program Makan Bergizi Libur Sekolah Dikritik: Dapur Harus Tetap Ngebul?
Srimulat Bangkit di Surabaya, Tessi-Kadir Siap Guncang Balai Budaya