Bencana Sunyi: Ketika Gosip Selebriti Menenggelamkan Isu Lingkungan

- Jumat, 26 Desember 2025 | 20:25 WIB
Bencana Sunyi: Ketika Gosip Selebriti Menenggelamkan Isu Lingkungan

Oleh: Noviana Fazriah – Mahasiswa Magister Komunikasi Korporat Universitas Paramadina

Menjelang akhir 2025, linimasa kita riuh. Bukan oleh prestasi, tapi oleh skandal dan bencana. Di satu sisi, ada banjir besar di Sumatera. Di sisi lain, publik sibuk membicarakan perceraian Ridwan Kamil karena perselingkuhan. Atau drama influencer muda Jule yang disebut-sebut berselingkuh lagi. Belum lagi kasus Inara Rusli yang dituding sebagai simpanan. Semuanya ramai sekali.

Drama-drama seperti ini, entah melibatkan politisi atau selebritas media sosial, tiba-tiba saja viral. Mereka menguasai percakapan publik dengan sangat kuat. Potongan chat, rekaman CCTV, hingga klarifikasi penuh emosi disajikan berlapis-lapis. Dikomentari tanpa henti. Publik pun larut. Media ikut mengalir mengikuti arus ini, dan algoritma bekerja dengan sempurna mendorongnya. Fenomena ini bukan cuma soal selera. Ini soal komunikasi dan kekuasaan di ruang publik.

Media dan platform digital, sadar atau tidak, jadi penentu agenda. Teori agenda setting McCombs dan Shaw masih relevan. Intinya, media bisa sangat efektif menentukan apa yang perlu kita pikirkan. Nah, ketika drama perselingkuhan mendominasi headline dan linimasa, isu-isu struktural seperti banjir Sumatera, deforestasi, atau bantuan kemanusiaan jadi tersingkir ke pinggir.

Intensitas dan penempatan isu membentuk persepsi kita. Akhirnya, kita membicarakan apa yang terus-menerus disajikan, bukan yang paling berdampak. Isu lingkungan kalah pamor bukan karena tak penting. Ia cuma kalah panggung.

Ketika Bencana Kehilangan Narasi

Banjir di Sumatera itu merenggut lebih dari seribu jiwa. Hampir setengah juta orang kehilangan rumah. Ini bukan sekadar peristiwa alam belaka. Ini hasil dari rangkaian keputusan: izin konsesi, alih fungsi lahan, penegakan hukum yang lemah, dan komunikasi risiko yang minim. Semua berkontribusi pada tragedi ini.

Tapi tanpa narasi yang kuat, bencana pelan-pelan kehilangan “wajah”. Ia berubah jadi sekadar statistik, laporan singkat, atau foto tanpa konteks. Sementara itu, drama perselingkuhan menawarkan tokoh, konflik, emosi, dan klimaks. Semua unsur yang bikin publik betah berlama-lama menguliknya.

Di sinilah kegagalan komunikasi lingkungan terasa nyata. Bukan karena kurang data, tapi karena kalah dalam membangun makna. Jangan salahkan publik sepenuhnya. Di dunia digital, algoritma memperkuat mekanisme agenda setting. Kalau dulu media pilih headline, sekarang platform dorong konten yang bikin tinggi engagement-nya. Drama perselingkuhan punya semua syarat viral: sederhana, personal, dan emosional. Sebaliknya, bencana ekologis butuh konteks, data, dan liputan berkelanjutan.

Jika berita banjir cuma disampaikan dengan bahasa teknis yang dingin, sementara gosip dikemas dramatis dan berulang, ya ketimpangan perhatian ini akan terus terjadi.

Pertanyaannya bukan apakah skandal layak dibahas. Tapi, mengapa isu dengan dampak sosial dan ekologis yang luas justru kalah ruang?


Halaman:

Komentar