Pekan ini, istilah islah kembali ramai diperbincangkan di kalangan Nahdlatul Ulama. Ia disebut-sebut sebagai jawaban atas pelbagai persoalan yang menghimpit jam’iyyah. Mulai dari konflik di tubuh struktural, tarik-ulur kepentingan politik, sampai krisis keteladanan yang melanda sebagian elite.
Tapi, persoalan utamanya bukan cuma soal perlu atau tidaknya islah. Lebih mendasar dari itu: sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan islah itu sendiri?
Kalau maknanya tak jelas, islah cuma akan jadi jargon politik belaka. Alat legitimasi kekuasaan. Atau, paling banter, sekadar seruan normatif yang tak punya dampak nyata di lapangan.
Makna Islah: Dari Al-Qur’an hingga Tradisi Ulama
Secara bahasa, Iṣlāḥ berasal dari akar kata ṣhad, lam, ḥa. Ia mengandung arti memperbaiki, mendamaikan, mengembalikan sesuatu pada kondisi yang benar. Dalam Al-Qur’an, istilah ini punya bobot yang tegas, bukan sekadar kata hiasan.
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka, kecuali bisikan orang yang menyuruh kepada sedekah, kebaikan, atau ishlah di antara manusia.” (QS. an-Nisā’ [4]: 114)
Di sini, iṣlāḥ selalu terkait dengan perbaikan yang bersifat struktural dan moral. Bukan kompromi pragmatis yang mengabaikan prinsip. Bahkan dalam konflik, islah menuntut keadilan bukan perdamaian semu yang hanya menutupi luka. Artinya, islah bukanlah “diam demi stabilitas”. Ia justru memerlukan keberanian untuk membenahi penyimpangan yang ada.
Nah, dalam khazanah ulama klasik, iṣlāḥ sering dipadankan dengan tajdīd atau pembaruan. Prinsipnya: menjaga tradisi lama yang masih baik, sambil mengambil hal baru yang lebih maslahat. Jadi, islah itu bukan pembongkaran total. Tapi juga bukan pembiaran atas kerusakan yang merajalela.
Islah di Ranah Organisasi: Lebih dari Sekedar Rukun
Lalu, bagaimana memaknainya dalam konteks organisasi? Menurut sejumlah pengamat, iṣlāḥ menuntut lebih dari sekadar ajakan berdamai atau berjabat tangan. Ia harus dimaknai sebagai upaya perbaikan struktural dan mekanisme kelembagaan. Bukan cuma upaya menutupi konflik agar citra organisasi tetap kinclong.
Artikel Terkait
Sumatra Menjerit: Bencana Berulang, Akar Masalahnya Masih Dibiarin?
Bakauheni Tembus 273 Ribu Penumpang, Arus Mudik Natal 2025 Mencatat Rekor
Islah di Tubuh NU: Antara Jargon dan Perbaikan yang Nyata
Gus Ipul Serahkan Dinamika NU pada Musyawarah Ulama