Publik yang Lelah dan Butuh Distraksi
Coba bayangkan. Bencana di Sumatera itu seperti lukisan besar yang memilukan, butuh perhatian serius untuk diperbaiki. Lalu, di sudut kanvas yang sama, seseorang mencoretkan cat neon menyilaukan. Mata kita pasti akan tertarik ke coretan neon itu. Itulah yang terjadi.
Filsuf Byung-Chul Han punya istilahnya: “masyarakat kelelahan.” Pikiran publik sudah jenuh oleh beban masalah berat yang tak ada ujungnya. Di alam bawah sadar, kita rindu distraksi. Sesuatu yang dramatis, personal, dan gampang dicerna. Kolaborasi tak terduga antara Ayu Aulia dan Kemenhan adalah pasangan panggung yang sempurna. Sensasi, sekali lagi, menang atas substansi.
Narasi yang Hilang
Di tengah keributan ini, ada yang terasa absen: sang penjaga narasi. Institusi sebesar Kemenhan bukan cuma wajib membantah. Lebih dari itu, mereka harus menguasai cerita. Klarifikasi yang tuntas bukan sekadar kata “tidak”. Ia harus berupa narasi alternatif yang kuat, jernih, dan bisa memulihkan kepercayaan.
Kenapa tidak ada penjelasan terbuka soal protokol keamanan untuk acara di lingkungan kementerian? Apakah ada konsekuensi untuk penyalahgunaan kesan institusi? Tanpa transparansi semacam ini, bantahan terasa seperti menutup lubang dengan plastik. Angin skeptisisme tetap bisa menerobos masuk.
Teater yang Kita Semua Mainkan
Pada akhirnya, ini adalah teater yang kita semua tonton bahkan kita akting di dalamnya. Figur kontroversial memainkan peran pencari sensasi. Media jadi pengeruk atensi. Algoritma media sosial bertindak sebagai sutradara tak terlihat. Dan kita, para penonton, dengan mudah beralih dari tragedi nyata ke komedi absurd.
Kemenhan, dalam episode ini, bukan korban. Ia adalah pemeran utama yang lupa bahwa panggungnya adalah ruang kedaulatan, bukan studio reality show. Kasus ini cermin retak. Di dalamnya, kita lihat bayangan diri sebagai bangsa yang gampang teralihkan oleh gincu, lupa pada luka yang masih menganga.
Pertahanan sebuah bangsa tak cuma diukur dari kekuatan senjata. Tapi juga dari keteguhan narasinya. Dan belakangan ini, narasi kita seperti tersandera oleh badai yang kita ciptakan sendiri. Badai di mana satu unggahan selfie bisa mengalahkan jeritan ribuan orang yang sedang berduka.
Kita masih menunggu. Bukan menunggu kejutan berikutnya dari sang model. Tapi menunggu tindakan bijak dari sang benteng. Sudah waktunya panggung sandiwara ini ditutup. Perhatian kita perlu dikembalikan pada hal yang nyata: air yang surut, luka yang mengering, rumah-rumah yang berdiri kembali. Atau kita akan tetap terpaku pada drama di lorong kekuasaan, sementara di luar, hujan sesungguhnya sudah mulai lagi mengguyur.
Artikel Terkait
Puncak-Cipanas Siaga Macet, 1.300 Personel Dikerahkan Jelang Malam Tahun Baru
Tol Cipali Sepi Pasca-Lebaran, Volume Kendara Anjlok 51 Persen
H+1 Natal, Tol Cipali Sepi: Lalu Lintas Anjlok Hampir 40 Persen
Islah di Tubuh NU: Bukan Sekadar Jargon, Tapi Agenda Perbaikan Nyata