Di Balik Penolakan Status Bencana Nasional: Gengsi, Sawit, dan Ambisi Papua

- Kamis, 25 Desember 2025 | 21:00 WIB
Di Balik Penolakan Status Bencana Nasional: Gengsi, Sawit, dan Ambisi Papua

Di bawah kepemimpinan Prabowo, Indonesia sedang getol membangun citra sebagai calon kekuatan besar dunia. Baru-baru ini di Papua, dia menyebut peluang Indonesia menjadi negara keempat atau kelima terbesar di dunia dalam 10-15 tahun ke depan.

Citra seperti ini tentu dijaga ketat. Menetapkan status 'Bencana Nasional' bisa memicu protokol bantuan internasional secara masif. Bagi narasi 'Indonesia Mandiri', menerima bantuan pemerintah-ke-pemerintah dianggap seperti pengakuan kelemahan. Mungkin, lebih baik tampil sebagai subjek yang memberi bantuan seperti pada isu Palestina daripada objek yang menerimanya. Semua untuk membuktikan bahwa 'calon raksasa' ini sanggup urus diri sendiri.

2. Melindungi Kemenangan Sawit di WTO

Alasan lain lebih pragmatis: sawit. Setelah kemenangan Indonesia di WTO soal biodiesel sawit Agustus 2025 lalu, pemerintah berada dalam posisi defensif. Mereka harus menjaga legitimasi itu.

Nah, ini yang pelik. Lembaga internasional dan LSM global kerap mengaitkan banjir dan longsor di Sumatera dengan degradasi hutan akibat ekspansi sawit. Dengan menolak status bencana nasional dan membatasi akses asing, pemerintah melakukan gatekeeping informasi. Tanpa kehadiran ahli dan jurnalis internasional yang leluasa, keterkaitan bencana dengan industri sawit bisa dipertahankan sebagai 'isu domestik'. Tujuannya, agar tidak jadi amunisi baru bagi Uni Eropa untuk menyerang balik di WTO.

3. Mengeraskan Agenda Papua

Keteguhan ini juga berkait erat dengan agenda jangka panjang: ekspansi sawit besar-besaran di Papua. Narasi yang dibangun adalah 'sawit adalah pohon' yang menyerap CO2, mendukung swasembada BBM berbasis biofuel.

Bayangkan jika bencana di Sumatera diakui secara resmi sebagai kegagalan ekologis akibat tata kelola lahan. Proyek ambisius di Papua itu pasti akan menghadapi tantangan diplomasi yang jauh lebih berat. Maka, kontrol ketat terhadap narasi bencana di Sumatera seperti yang ramai dikeluhkan netizen adalah konsekuensi logis. Semua untuk mengamankan jalan bagi proyek strategis di timur Indonesia.

Tiga analisis itu, saya kira, sudah cukup memberi gambaran. Dalam konteks Aceh, kita bisa tambahkan soal deforestasi yang merusak Kawasan Ekosistem Leuser. Situasinya sudah level bencana ekologi yang mengancam secara global.

Uni Eropa pasti sudah tahu. Mereka dapat laporan langsung dari mitra di lapangan. Percayalah.

(")


Halaman:

Komentar