Reformasi Jilid II: Suatu Keniscayaan
Oleh M Rizal Fadillah
Reformasi 1998 dulu lahir dari kondisi yang bobrok. Korupsi, kolusi, nepotisme semuanya merajalela. Ditambah lagi krisis moneter yang menghantam. Nilai tukar rupiah ambruk, daya beli masyarakat pun ikut terpuruk. Saat itu, sistem pemerintahan terpusat dan otoriter. Hukum cuma jadi alat politik, dwifungsi ABRI kuat, sementara suara mahasiswa dan intelektual dibungkam.
Tak heran, kondisi itu memicu ledakan. Gerakan mahasiswa, intelektual, dan masyarakat umum bergemuruh. Semangat perubahan menggumpal jadi tuntutan nyata: adili Soeharto beserta kroninya, berantas KKN, amandemen UUD 1945. Mereka juga menuntut otonomi daerah yang lebih luas, supremasi hukum, stabilisasi harga, dan penghapusan dwifungsi ABRI.
Puncaknya terjadi pada Mei 1998. Gerakan reformasi mencapai kulminasinya. Mahasiswa, dengan posisi yang strategis, berhasil mendesak para pengambil kebijakan mulai dari DPR/MPR, Presiden, hingga aparat untuk mendengarkan kemauan rakyat. Akhirnya, Soeharto mundur. Disusul kemudian pemilu 1999, dwifungsi ABRI dihapus, aturan pemberantasan KKN dibuat, amandemen konstitusi digulirkan, otonomi daerah diperluas, dan nilai tukar berusaha distabilkan.
Namun begitu, sekarang, di tahun 2026 28 tahun pasca reformasi rasanya kita seperti berputar-putar di tempat. Bahkan mundur. Situasi politik, ekonomi, dan hukum seolah kembali ke masa kelam. KKN kembali merajalela, dengan angka korupsi yang justru lebih dahsyat. Presiden silih berganti, tapi mentalitas oligarkis itu tetap sama, melekat kuat. Demokrasi kita? Masih saja mencari bentuk, belum pulih benar.
Menurut sejumlah pengamat, puncak kerusakan terjadi di era Joko Widodo. Presiden yang berasal dari tukang meubel ini dianggap payah. Ijazahnya bermasalah, pelanggaran HAM menempel pada pemerintahannya, dan indikasi KKN tak bisa dielakkan. Belum lagi soal pengkhianatan negara dan kebohongan yang berulang. Negara ini, dalam pandangannya, hancur dibuatnya.
Lalu, datanglah Prabowo sebagai penggantinya. Tapi hingga kini, ia cenderung "cicing wae", diam saja, seolah melanjutkan dekadensi yang ada. Rakyat berteriak meminta pertanggungjawaban, tapi teriakan itu seperti ditepis. Ia dulu digadang-gadang sebagai macan, kini dianggap hanya seperti tikus mainan.
Artikel Terkait
Hari Pertama Libur Natal, Jakarta Beristirahat dari Kemacetan
Pertemuan Rahasia Dua Pucuk Pimpinan NU Akhirnya Terjadi di Lirboyo
Contraflow 18 Km Diterapkan, Arus Mudik Nataru 2026 Mencapai Puncak di Tol Cikampek
Ragunan Dibanjiri 28 Ribu Pengunjung di Pagi Natal, Diprediksi Tembus 50 Ribu