Itu cuma ilusi. Rokok itu penyakit yang sabar. Efeknya menumpuk pelan-pelan. Banyak yang di usia muda masih perkasa, eh, di umur 50 atau 60 tahun baru merasakan akibatnya. Dan di titik itu, sensasi nikmat dari sebatang rokok sudah lama hilang. Yang tersisa justru segudang obat untuk mengatasi komplikasi yang muncul.
Jadi, saat ada yang berkomentar membela kebiasaan merokok dengan membandingkannya pada hal lain, sebenarnya itu bukan argumen. Itu lebih ke bentuk pertahanan psikologis. Cara halus untuk bilang, "Jangan ganggu zona nyaman saya."
Dan ya, itu wajar. Manusiawi banget.
Tapi fakta tetap fakta. Ia nggak peduli dengan pembenaran kita.
Rokok ya tetap racun. Obat ya tetap alat terapi. Membandingkan keduanya cuma jadi pembenaran yang rapuh, yang sama sekali tidak mengubah realita biologis di dalam tubuh setiap perokok.
Memang, mengedukasi soal bahaya rokok bukan perkara gampang. Yang dilawan bukan cuma kecanduan nikotin, tapi juga seluruh mekanisme pembenaran dalam kepala. Perlu kesabaran.
Fakta berbicara dengan data dan angka. Tapi perubahan, selalu dimulai dari satu hal sederhana: kejujuran pada diri sendiri.
Artikel Terkait
Contraflow 18 Km Diterapkan, Arus Mudik Nataru 2026 Mencapai Puncak di Tol Cikampek
Ragunan Dibanjiri 28 Ribu Pengunjung di Pagi Natal, Diprediksi Tembus 50 Ribu
Panglima TNI Resmikan Gedung Jenderal Soedirman, Pengawal VVIP Kini Punya Markas Modern
Kesombongan Moral: Ketika Lupa Asal-Usul Menjadi Akar Kehancuran