Kedua, hakim seharusnya berfungsi sebagai alat kontrol dan penemu hukum. Mereka tidak harus selalu terpaku pada bukti-bukti formal. Hakim boleh menggunakan conviction intime, keyakinan hakim sendiri, karena mereka juga terikat pada asas ketiga.
Ketiga, asas notoire feiten, atau fakta yang diketahui umum. Secara publik, Jokowi sering dianggap sebagai sosok yang gemar melanggar norma, seorang lip service. Ini adalah pengetahuan umum yang seharusnya juga diketahui hakim.
Keempat, asas Ius Curia Novit. Setiap hakim dianggap tahu hukum. Mereka wajib memeriksa dan memutus perkara, tidak boleh menolaknya dengan alasan apa pun. Ini jelas diatur dalam Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman.
Argumen di atas bukanlah intuisi subjektif semata. Ini berdasarkan proses hukum yang pernah benar-benar dijalani. TPUA sebelumnya sudah mengajukan gugatan perdata di 2023 dan juga melaporkan dugaan pidana pemalsuan ijazah ke Bareskrim Mabes Polri pada Desember 2024.
Saat itu, saya yang bertindak sebagai koordinator advokat TPUA. Kami sudah berhadapan dengan penyidik. Tapi prosesnya mandek. Penyidikan dihentikan sementara dengan alasan yang rumit. Penyidik hanya menggunakan analisis manual sederhana, lalu menyimpulkan ijazah itu "identik dengan asli". Pendekatan seperti ini jelas tidak memadai untuk mencari kebenaran materiil.
Memang, belakangan Mabes Polri dalam Gelar Perkara Khusus menyatakan sudah menggunakan analisis digital labfor. Tapi prosesnya tidak transparan. Hasilnya jadi dipertanyakan, bahkan terkesan melanggar sejumlah undang-undang dan asas tata kelola yang baik.
Ada satu teori hukum lagi yang relevan: asas ultimum remedium. Prinsip ini melihat hukum pidana sebagai obat terakhir. Ia baru digunakan jika upaya hukum lain, seperti perdata atau administrasi, sudah tidak mempan.
Kasus ijazah ini sebenarnya sudah menjadi problem of trust, masalah kepercayaan pada penegak hukum. Keributannya terjadi bahkan sebelum Jokowi melaporkan balik para penggugat, dan makin menjadi setelah delapan orang ditetapkan sebagai tersangka. Dalam situasi seperti ini, prinsip ultimum remedium justru vital untuk memulihkan ketertiban dan kepastian hukum.
Teori yang Hanya Jadi Retorika
Pada akhirnya, apa yang terjadi? Penerapan asas mala in se, notoire feiten, dan putusan dari lembaga peradilan yang satu atap, ditambah penghentian penyelidikan oleh polisi, telah menutup jalan. Tujuan hukum untuk menemukan kepastian dan manfaat menjadi nihil. Teori-teori indah itu hanya jadi retorika belaka. Pencarian keadilan pun terkubur menjadi mimpi indah yang tak kesampaian.
Lalu, apa solusinya? Hanya ada satu tiket satu arah: mengimplementasikan peran serta masyarakat secara intensif dan sesuai koridor hukum. Lakukan dengan pola yang kompleks, hadapi realita, jangan hanya berkoar di ruang sempit. Dan ingat, jangan anarkis. Semuanya harus tetap patuh pada ketentuan hukum yang berlaku.
Artikel Terkait
Ragunan Dibanjiri 28 Ribu Pengunjung di Pagi Natal, Diprediksi Tembus 50 Ribu
Panglima TNI Resmikan Gedung Jenderal Soedirman, Pengawal VVIP Kini Punya Markas Modern
Kesombongan Moral: Ketika Lupa Asal-Usul Menjadi Akar Kehancuran
Pedagang Emas Tertembak Usai Kejar Penjual Liontin Palsu di Sukajadi