Kisah Charlie Chandra adalah bukti nyatanya. Dia kehilangan tanah, lalu dikriminalisasi dan dipenjara. Dan Charlie bukan satu-satunya. Masih banyak “Charlie-Charlie” lain yang jadi korban.
Saat ini, saya dan tim LBH AP Muhammadiyah sedang mendampingi warga Kampung Alar Jiban. Mereka dikriminalisasi setelah menolak direlokasi dan dipaksa jual tanah dengan harga murah. Modusnya klasik: diadu domba, dibuat ricuh, lalu dilaporkan ke polisi oleh para mafia tanah.
Tak cuma di Alar Jiban. Warga Kampung Encle di Desa Sukawali, Tangerang, juga terancam terusir. Kampung mereka masuk dalam peta pengembangan PIK-2, sehingga mereka diminta meninggalkan tempat tinggalnya sendiri.
Masih ada lagi. Pasangan suami-istri, SK Budiarjo dan Nurlela, juga jadi korban. Tanah mereka di Cengkareng dirampas oleh PT SSK, anak usaha ASG. Keduanya dipenjara, tanpa mendapat ganti rugi sepeser pun dari Aguan.
Selama ini, Buddha Tzu Chi kerap dipakai sebagai alat untuk memoles citra Aguan. Tangan yang berlumuran darah dari perampasan tanah, tiba-tiba tampak seperti tangan seorang filantropis. Ia dibungkus dengan wajah penuh kedermawanan dan kesetiakawanan sosial.
PIK-2 sendiri ibarat negara dalam negara, letaknya tak jauh dari Jakarta. Jangan sampai Aceh nanti jadi “PIK-3”, yang hanya akan jadi hunian bagi warga negara asing China.
Apalagi, Aceh itu dekat dengan daratan China. Proyek Aguan di sana bisa saja sejalan dengan agenda hegemoni China lewat Belt Road Initiative (BRI) atau yang dulu dikenal sebagai One Belt One Road (OBOR).
TolakKezalimanAguandiIndonesia
PeduliBencanaSumateraTanpaKezalimanAguan
TzuChiTanggapBencanaAdaAguanDibekangnya
BaktiUntukSesamaTanpaKezalimanAguan
KunjunganGubernurAcehHarusDiingatkan
Pembangunan1000RumahBiasaJadiModusKolonisasiWNAChina
Artikel Terkait
Kesombongan Moral: Ketika Lupa Asal-Usul Menjadi Akar Kehancuran
Pedagang Emas Tertembak Usai Kejar Penjual Liontin Palsu di Sukajadi
Gus Ipul Pastikan BLT dan Bantuan Rp8 Juta untuk Korban Bencana Sumatera
Natal di Thekelan, Tetangga Lintas Agama Saling Sambangi