Banjir Bandang Aceh & Sumatera: Bencana Ekologis Akibat Kebijakan Pro-Oligarki
Sebuah catatan dari diskusi "Rakyat Bersuara", mencari resolusi untuk menyelamatkan Aceh dan Sumatera.
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat & Aktivis
Setelah melihat langsung ke lokasi banjir bandang di Aceh, Sherly Annavita punya kesimpulan yang halus tapi menusuk. Dalam diskusi Rakyat Bersuara (23/12), dia bilang yang dibutuhkan saat ini adalah 'komando'. Kata itu, sederhana saja, tapi sebenarnya kritik tajam untuk kinerja pemerintah yang dinilai tidak maksimal. Di lapangan, potensi untuk bergerak sebenarnya ada. Sayangnya, sinergi yang baik tak kunjung tercipta. Kenapa? Ya, karena memang tak ada kepemimpinan yang jelas dalam penanggulangan bencana ini.
Akibatnya, semua pihak bergerak sendiri-sendiri. Pemerintah daerah, relawan, bahkan para korban semua berjuang mandiri. Koordinasi yang amburadul membuat upaya pemulihan jadi tidak efektif. Harapan untuk kembali normal pun terasa masih sangat jauh. Jauh panggang dari api.
Moderator diskusi, Aiman Witjaksono, menyoroti hal lain. Menurutnya, yang urgent sekarang adalah 'percepatan'. Bantuan dan penanganan harus lebih cepat sampai ke korban. Hendri Satrio menambahkan, salah satu kendala besar adalah informasi yang tumpang-tindih. "Kita butuh pusat informasi yang terintegrasi," ujarnya.
Namun, penulis punya ungkapan yang lebih keras untuk menggambarkan situasi ini: 'negara tidak hadir'. Memang ini metafora. Tapi, bukankah rakyat yang terdampak bencana di Aceh dan Sumatera kini bagai anak yatim? Negara yang seharusnya mengasuh dengan serius, seringkali hanya muncul dengan kegiatan yang normatif. Sekadar formalitas belaka.
Memang, banyak pernyataan pejabat yang berjanji ini-itu. Tapi coba dengarkan laporan dari lapangan. Seperti yang disampaikan Chiki Fawzi, seorang relawan di Aceh, lewat sambungan telepon yang tersendat-sendat. Ceritanya seperti tamparan. Akses jalan putus, listrik mati, sinyal telepon hilang, kebutuhan pokok sulit. Padahal, masih banyak temuan Chiki lainnya yang tak sampai ke pemberitaan media.
Pesan Gubernur Aceh, Mualem, yang menitipkan air mata dan meminta rakyat bersandar kepada Allah SWT, juga bisa dibaca sebagai kritik halus. Sebuah isyarat bahwa peran pemerintah pusat tidak maksimal. Sayangnya, pemerintah seolah tak punya kepekaan untuk menangkap isyarat semacam itu.
Ungkapan 'negara tak hadir' tadi memang majazi. Metafora. Pada kenyataannya, pemerintah sudah melakukan sejumlah tindakan. Tapi mari kita lihat fakta lain.
Rakyat meminta status bencana nasional dan pembukaan akses bantuan internasional. Kenapa pemerintah bersikukuh sanggup menangani sendiri? Padahal, sudah hampir sebulan, banyak janji yang belum juga terpenuhi. Apa dasarnya percaya diri begitu?
Perwakilan pemerintah dari Tenaga Ahli Utama KSP, Saddam Al Jihad, menyebutkan sejumlah statistik pencapaian dan komitmen. Pernyataan itu patut didengar. Tapi jika itu dijadikan alasan untuk menolak status bencana nasional dan bantuan internasional, kesimpulannya terasa sangat prematur. Terlalu riskan untuk dipercaya begitu saja.
Lihat saja preseden kasus pagar laut. Dulu dijanjikan apa? Realisasinya seperti apa? Hanya Arsin, Kades Kohod, yang ditumbalkan. Sementara korporasinya, AGUAN, tak tersentuh hukum. Reklamasi di pagar laut terus berjalan. Proyek PIK-2 juga lanjut, meski status Proyek Strategis Nasionalnya sudah dicabut.
Artikel Terkait
Gubernur Sumsel Blusukan ke Gereja, Pastikan Natal Aman dan Kondusif
Kardinal Suharyo Serukan Natal 2025 untuk Korban Bencana Sumatera
Air Mata Syukur Ibu Asrika di Sekolah Rakyat, dari Hampir Putus Sekolah ke Cita-cita Pilot
Dari Buta Aksara ke Rangking Tiga, Kisah Nazril di Hadapan Gus Ipul