Sudah bertahun-tahun mengajar, saya kerap merasa berada di persimpangan. Di satu sisi, saya takjub dengan kemajuan teknologi yang bisa mempermudah segalanya. Tapi di sisi lain, ada kegelisahan yang mengendap. Anak-anak muda sekarang, mahasiswa saya, seolah tak bisa lepas dari gawai. Dunia mereka ada di sana, sementara realitas di sekelilingnya jadi terasa samar.
Kenangan Awal dan Kekhawatiran yang Muncul
Dulu, saat pertama kali jadi dosen, saya termasuk yang paling semangat membawa teknologi ke kelas. Saya pikir, inilah kunci untuk membuat kuliah lebih hidup. Tapi lama-lama, saya mulai melihat sisi lain yang bikin saya merenung.
Lihat saja sekarang. Informasi ada di ujung jari, tapi fokus mereka justru buyar. Mereka bisa terhubung dengan siapa saja di belahan dunia, tapi kok rasanya hubungan yang sesungguhnya justru renggang? Di kelas, tak jarang saya lihat mereka asyik sendiri dengan layar main game, scroll video, atau sibuk balas chat. WhatsApp, Telegram, atau apa pun itu. Diskusi jadi satu arah, debat sehat makin langka. Ngobrol langsung? Rasanya lebih berat ketimbang sekadar kirim pesan singkat.
Paradoks yang Nyata
Memang betul, gawai itu mendekatkan yang jauh. Tapi diam-diam, ia juga menjauhkan yang dekat. Keluarga dan teman di sebelah malah jadi kurang perhatian. Akses informasi luas, tapi hoaks dan fakta jadi sulit dibedakan. Ini paradoks yang kita hadapi sehari-hari.
Saya bukan orang yang anti-teknologi. Jujur saja, saya juga pengguna dan butuh itu. Tapi menurut saya, kita semua butuh keseimbangan. Dunia nyata tak boleh kalah oleh dunia virtual.
Sebagai pengajar, saya ingin mahasiswa saya sadar bahwa hidup itu lebih luas dari sekedar layar ponsel. Kemampuan bergaul, membaca emosi orang, dan berinteraksi langsung itu penting. Kebahagiaan sejati, seringkali justru datang dari momen-momen sederhana bersama orang lain, bukan dari notifikasi.
Lebih Dari Sekadar Baca Tulis
Nah, ini yang jadi perhatian saya berikutnya: literasi. Bukan cuma soal bisa baca tulis, tapi lebih ke kemampuan mencerna informasi. Di tengah banjir data seperti sekarang, mahasiswa harus jadi pembaca yang kritis. Bisa menyaring mana yang benar, mana yang menyesatkan.
Lalu ada soal kontrol sosial. Maksud saya, kemampuan untuk memahami norma dan menghormati orang lain. Ini dasar untuk hidup bermasyarakat. Saya ingin mereka tumbuh jadi pribadi yang bertanggung jawab, yang paham konsekuensi dari setiap tindakan.
Artikel Terkait
Di Balik Data dan Digitalisasi: Upaya Menyelaraskan Penyaluran Bansos dengan Realita Warga
Prabowo Soroti Perjuangan Sunyi Satgas Hutan yang Selamatkan Rp 6,6 Triliun
Bahu Jalan Bukan Tempat Istirahat, Peringatan Keras Jelang Puncak Arus Nataru
Rp 6,6 Triliun Menggunung di Kejagung, Hasil Tebusan Lahan Sawit Ilegal