Di Balik Reruntuhan, Bayang-Bayang Negara yang Absen

- Rabu, 24 Desember 2025 | 09:50 WIB
Di Balik Reruntuhan, Bayang-Bayang Negara yang Absen

Menghadapi kehancuran dengan skala sedahsyat ini jutaan jiwa terdampak menolak bantuan dari luar justru mengerdilkan peluang untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa. Sikap "kita bisa sendiri" ternyata jauh panggang dari api.

Di lapangan, ceritanya berbeda. Akses ke banyak lokasi masih terputus. Logistik mandek. Distribusi bantuan tidak merata. Ibu yang berdiri di puing tadi bukan metafora belaka; dia mewakili jutaan orang yang masih menunggu dengan perut keroncongan. Bahkan, ada laporan tragis tentang korban yang tewas berebut beras karena bantuan yang terlambat.

Menerima bantuan internasional bukan tanda kegagalan. Justru, menolaknya demi gengsi politik menunjukkan prioritas yang salah. Banyak negara maju pun tak sungkan membuka diri saat bencana melampaui kapasitas mereka. Itu justru wujud kedewasaan.

Negara ini tentang keputusan, bukan retorika. Sikap defensif yang terus dipertahankan klaim bahwa semua terkendali, penolakan bantuan asing mengingatkan pada seorang perenang yang tenggelam tapi menolak pelampung demi dianggap jago. Akibatnya? Yang jatuh bukan cuma korban bencana. Kepercayaan rakyat pun ikut terguncang. Mereka melihat, di saat genting, negara lebih memilih tampil rapi di konferensi pers daripada bertindak cepat.

Pesan ironisnya jelas: negara seolah bekerja keras membela narasinya, bukan membela rakyatnya. Dan rakyat, yang setiap tetes air matanya menjadi statistik, kehilangan lebih dari rumah. Mereka kehilangan rasa aman, hak atas bantuan yang efektif, serta kepercayaan bahwa pemerintah benar-benar hadir untuk mereka.

Kita tidak minta yang muluk-muluk. Hanya kejujuran, keputusan tegas, dan kehadiran yang nyata. Bukan yang cuma tampak di layar televisi, tapi yang bisa dirasakan oleh perut yang lapar dan tangan yang menggigil.

Anak-anak yang tertawa di atas reruntuhan itu mungkin belum mengerti arti "negara". Tapi nanti, ketika mereka besar dan mengingat hari-hari kelam ini, pasti akan muncul pertanyaan: di mana negara saat segalanya runtuh? Pertanyaan itu akan lebih tajam dari segala kritik. Sejarah, pada akhirnya, hanya mencatat siapa yang benar-benar hadir saat nyawa dipertaruhkan.

Surabaya, 24 Desember 2025

M. Isa Ansori Kolumnis, Akademisi, Wakil Ketua ICMI Jatim serta Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya


Halaman:

Komentar