Ambil contoh Necmettin Erbakan Akyüz, juara enam kali yang namanya sempat ramai. Akhir 2023 lalu, dia harus berurusan dengan Federasi Wushu Kungfu Eropa (WKFE). Penyebabnya? Dia mengibarkan bendera Palestina dan menarikan dabke, tarian tradisional, di atas podium. Akyüz diselidiki dan akhirnya diskors.
Reaksinya tak main-main. Pada Mei 2025, di sebuah ajang bergengsi, Akyüz membuat kejutan. Alih-alih memamerkan medali kemenangannya, dia justru melemparkannya ke Sungai Nil. Itu adalah protes keras terhadap sikap WKFE yang dianggapnya tidak adil.
Jadi, apa yang terjadi di Yalova sepertinya bukan insiden tunggal. Ini lebih mirip kelanjutan dari sebuah narasi yang sudah berjalan lama. Olahraga dan politik, sekali lagi, sulit dipisahkan.
Artikel Terkait
Bisnis Makanan Gratis: Mimpi Anti Rugi atau Hanya Fatamorgana?
Lansia 62 Tahun Cabuli Bocah SD di Toko Miliknya Sendiri
Di Balik Data dan Digitalisasi: Upaya Menyelaraskan Penyaluran Bansos dengan Realita Warga
Prabowo Soroti Perjuangan Sunyi Satgas Hutan yang Selamatkan Rp 6,6 Triliun