Masalah pernikahan dini di Indonesia itu seperti bayangan panjang yang sulit dihilangkan. Di balik tradisi dan tekanan sosial, ada fakta-fakta pahit yang seringkali terabaikan. Banyak remaja memutuskan menikah, padahal secara mental, ekonomi, dan kesehatan reproduksi, mereka sebenarnya belum siap. Akibatnya? Tak jarang pernikahan itu berujung pada konflik, penyesalan mendalam, atau bahkan perceraian hanya dalam hitungan bulan atau tahun.
Bayangkan saja, di usia remaja, perkembangan psikologis seseorang belum benar-benar stabil. Kemampuan mengendalikan emosi atau mengambil keputusan rasional masih terus bertumbuh. Nah, ketika mereka tiba-tiba harus menghadapi dinamika rumah tangga yang menuntut kedewasaan penuh, ya pasti kewalahan. Harapan romantis tentang "hidup bersama" perlahan berubah jadi beban peran sebagai suami atau istri. Pertengkaran kecil yang sepele bisa dengan mudah membesar jadi konflik serius. Makanya, nggak heran kalau angka perceraian di kalangan pasangan yang menikah muda terbilang tinggi.
Persoalan ekonomi juga jadi batu sandungan yang nyata. Banyak dari mereka yang belum punya pekerjaan tetap, tabungan, atau sekadar pengetahuan mengatur keuangan rumah tangga. Saat kebutuhan hidup menumpuk, tekanan finansial ini dengan cepat jadi pemicu pertengkaran. Kondisinya makin runyam kalau sudah hadir anak di tengah-tengah mereka. Stres pun jadi lingkaran yang sulit diputus.
Di sisi lain, dari kacamata sosial, remaja yang menikah dini biasanya belum punya pondasi peran yang kuat di masyarakat. Jaringan pertemanan sehat dan kemandirian mengambil keputusan seringkali masih minim. Alih-alih jadi mandiri, dalam pernikahan mereka justru mudah terpengaruh campur tangan pihak luar. Negosiasi dalam rumah tangga pun terasa sulit. Kurangnya kematangan sosial ini bikin hubungan pernikahan berjalan tanpa arah yang jelas.
Yang nggak kalah penting adalah soal pengetahuan kesehatan reproduksi. Menikah di usia terlalu muda, ditambah minimnya pemahaman akan hal ini, berisiko besar bagi kehamilan dan bayi yang dilahirkan. Secara biologis, tubuh remaja di bawah 21 tahun seringkali belum cukup matang untuk melalui proses mengandung dan melahirkan. Risikonya beragam, mulai dari meningkatnya kasus anemia pada ibu, kelahiran prematur, hingga kemungkinan sang ibu mengalami preeklamsia.
Yang bikin prihatin, banyak remaja memutuskan nikah hanya karena dilandasi rasa cinta sesaat. Mereka percaya perasaan "sayang" saja sudah cukup. Padahal, pernikahan itu lebih dari sekadar itu. Ini adalah komitmen jangka panjang yang butuh tanggung jawab, pengorbanan, dan kemampuan mengelola diri. Kalau fondasinya cuma itu, cinta muda bisa berubah jadi perselisihan yang berlarut-larut. Belum lagi, menikah terlalu dini jelas memotong proses tumbuh kembang mereka sebagai individu.
Peran Keluarga: Support System yang Justru Sering Jadi Pendorong
Ironisnya, keluarga yang seharusnya jadi tempat berlindung dan pemberi bimbingan, justru kerap menjadi pendorong utama pernikahan dini. Berbagai penelitian menunjukkan hal itu.
Orang tua yang buru-buru menikahkan anaknya biasanya dilandasi kekhawatiran. Takut anaknya "salah pergaulan", khawatir melanggar norma, atau takut aib keluarga terbongkar. Alhasil, pernikahan dipandang sebagai solusi cepat dan aman. Sayangnya, kesiapan emosional dan mental si anak justru diabaikan.
Menurut sejumlah saksi dan kajian, rasa malu sosial adalah faktor kunci. Menikahkan anak dengan cepat dianggap sebagai cara untuk menghindari gosip atau pandangan negatif tetangga. Jadi, bisa dibilang, kekhawatiran akan penilaian masyarakat lebih berpengaruh daripada mempertimbangkan kebutuhan perkembangan remaja itu sendiri.
Faktor ekonomi juga kerap jadi alasan. Pada keluarga berpendapatan rendah, menikahkan anak terutama perempuan dianggap bisa meringankan beban keuangan. Tanggung jawabnya seolah "dialihkan" ke suami. Kebiasaan ini seperti warisan turun-temurun yang sulit dihentikan.
Yang memilukan, keputusan menikahkan anak ini jarang dibarengi dengan pembekalan yang memadai. Nggak ada diskusi serius tentang cara mengelola emosi, berkomunikasi dengan pasangan, apalagi mengatur keuangan rumah tangga. Akibatnya, remaja itu melangkah bagai masuk ruang gelap tanpa membawa lentera. Mereka menikah karena tidak punya pilihan, bukan karena benar-benar siap.
Artikel Terkait
Mimbar Masjid Raib Usai Donatur Gagal Pilih Ketua RT
Retorika Boleh, Tapi Jangan Runtuhkan Fondasi Bangsa
Transparansi Ijazah Jokowi Dipertanyakan, Pola Penanganan Dinilai Mirip Dokumen Bermasalah
Viral Menu Sekolah Bermasalah, Pakar Pertanyakan Manfaat Unggahan Medsos